Sejak awal membaca buku ini aku lebih mengagumi bagaimana Agustinus Wibowo selalu tertarik untuk mencobai berbagai tantangan perjalanan dan selalu bersemangat untuk belajar di negeri-negeri Asia Tengah yang berakhiran –stan. Buku pertamanya Selimut Debu telah meninggalkan kisah arif tentang kehidupannya selama di Afghanistan. Maka di buku ini dia bercerita tentang pengelanaannya ke Tajikistan-Kirgiztan-Kazakhstan-Uzbekistan-Turkmenistan.
Kalau isinya ditulis lagi di sini atau bahkan diringkas tentu tak akan menjadi sesuatu yang surprise bagi yang belum membaca. Pada intinya, realita seorang backpacker sejati dapat Anda jumpai di sini. Seorang petualang yang tidak semata-mata piknik tetapi orang yang selalu haus tentang informasi dan keinginan untuk belajar mengenal kehidupan manusia. Dan tentu saja, merenungkan hasil perjalanannya sebagai bentuk refleksi bagi identitas dirinya.
Kisah-kisah di Garis Batas ini menjadikanku tersadar tentang pentingnya identitas suatu bangsa. Buku ini banyak bercerita tentang paradoks dan teka-teki yang sebenarnya bisa kita lanjutkan dengan petualangan kita sendiri untuk mencari jati diri dan menemukan kehormatan diri kita. Hal yang utama justru sebenarnya terletak pada refleksi ke-Indonesia-an kita. Membaca tulisan Agustinus yang memaparkan secara detil perjalanannya di Asia Tengah justru membuatku tersadar tentang pentingnya identitasi ke-Indonesia-an kita saat ini yang mulai memudar seiring ketidak-PD-an dan kebingungan kita.
Tak banyak hal yang ingin kutulis di sini. Mari kita periksa diri kita seberapa kita telah menguasai bahasa kita, seberapa kenal kita dengan Indonesia, dan seberapa cinta kita kepada tanah air. Antara aku dan mas Agustinus bisa jadi memiliki konsep cinta tanah air yang berbeda karena refleksinya pun berbeda ketika dia dahulu begitu tersiksa menjadi keturunan Tionghoa yang dipersulit urusannya oleh rezim orde baru tetapi juga tak dianggap oleh negeri leluhurnya, Tiongkok. Tetapi dia sendiri pun menemukan kecintaan tentang tanah airnya, yang semakin ia cintai seiring perjalanannya.
Bagaimana dengan ku? Yah, aku masih harus belajar banyak mengenal Indonesia. Tak ada hal lain yang perlu untuk kuhujamkan di dadaku selain meniatkan diri untuk mengenal rupa-rupa negeri ini. Bersyukurlah kita memiliki sejarah sendiri dan memiliki negara kesatuan yang sebegitu luas dan panjangnya ini. Negeri-negeri –stan tersebut adalah buah dari rekayasa sejarah Uni Soviet untuk membuat mereka memusuhi akar sejarah mereka. Mereka terpisah dalam garis-garis batas kesukuan. Hingga akhirnya mereka merdeka, ada yang semakin kaya ada yang menuju titik kebangkrutan.
Bukankah dahulu Belanda juga merancang kita menjadi negara federal? Yang harapannya mudah dipecah belah. Tetapi mosi Integral Muhammad Natsir menjadi ide brilian yang langsung disetujui oleh para dewan di parlemen. Kita melebur menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan.
Garis Batas menjadi salah satu buku spesial bagiku untuk menemukan ke-Indonesia-anku di masa yang serba klise ini. Masa di mana kemunafikan menjadi hal wajib yang mau tidak mau, sadar tidak sadar menjangkiti hati-hati anak bangsa sehingga menghasilkan kecintaan semu agar dapat mengeruk kekayaannya demi perutnya sendiri. Masa di mana sektarian lebih didasari egoisme dan emosi ketimbang upaya belajar untuk saling mengenal hingga sampai pada kesimpulan yang baik konsep bernegara yang tepat bagi negeri yang penuh sejarah ini. Ah, mungkin itu membosankan, belajar sejarah dianggap kuno dan sejarah disederhanakan sebagai buku-buku doktrin untuk anak sekolah. Cukup.
Jika kita masih ingin berbuat hal kecil untuk negara kita ini, dan kita masih belum punya banyak biaya untuk bertualang melihat Indonesia kita atau meniru Ibnu Batutah dan Marco Polo melakukan perjalanan yang penuh hikmah itu, buku ini dapat menjadi bahan refleksi kita. Tetapi tetap saja buku ini menjadi tidak penting ketika kita hanya menjadikannya bacaan saja dan tidak ada tindak lanjut yang nyata dari kita.