Ini tentang bagaimana anak-anak itu belajar. Ini pula sebuah refleksi pendidikan di negeri kita sehingga mengapa sekarang penyelenggaraan sekolah itu mengalami perpecahan dalam beberapa madzhab. Lahirnya sekolah-sekolah Islam terpadi terpadu dalam berbagai bentuknya, sekolah alam dan sekolah-sekolah yang lain adalah jawaban sekaligus bentuk protes halus masyarakat untuk pemerintah, untuk para guru PNS yang kebanyakan menjadi seperti raja dan berhenti belajar.
Hari ini kita menghadapi berbagai tekanan yang mengguncang peradaban Indonesia. Tekanan itu sangat kompleks dan susah dijelaskan bagaimana menghadapinya. Tapi jika merujuk pada tiga lingkungan pendidikan seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yakni keluarga, sekolah dan masyarakat rasanya ketiganya kini harus diselamatkan semuanya karena perlahan-lahan mulai rusak semua. Save our education environment!
Aku ngeri membayangkan bagaimana sebagian anak-anak sekarang, mungkin sebagian besar 100 % hidup di lingkungan pendidikan yang apes. Saat di lingkungan keluarga, pendidikan agama dan budi pekerti kurang. Jika salah dimarahi, dibentak-bentak. Disumpahi sebagai anak-anak nakal. Tak jarang dipukul dan diperlakukan dengan gaya otoritarian seperti masa lalu.
Kemudian sang anak berangkat ke sekolah. Di sekolah-sekolah yang gurunya tidak belajar tentang bagaimana mendidik anak-anak manusia pun juga akan mengata-ngatai mereka dengan anak bodoh. Yah jelas dong sekolah itu karena bodoh. Kalo pintar ngapain juga sekolah. Begitulah potret guru-guru yang bego. Tapi lebih parah lagi, sekolah pun mulai tidak serius mendidik budi pekerti mereka yang gagal di lingkungan keluarga karena banyak orang tua yang nikah karena modal nafsu doang, sekaligus cita-cita rendah agar anaknya jadi pengumbul kekayaan saja. Inilah kecelakaan kedua anak-anak dalam belajar.
Yang ketiga, mereka kemudian berada di lingkungan masyarakat yang hari ini rata-rata kerusakan mulai menjamur. Kecuali lingkungan santri atau kawasan yang masih ketat menjaga adat ketimuran, maka rata-rata anak akan menjalani pendidikan sosial dengan gaya bebas. Mengerikan bukan, bagaimana geng-geng, tongkrongan maksiat dan berbagai aktivitas yang tidak jelas mulai terjadi. Bolos sekolah dan tawuran tentu menjadi salah satu model pendidikan sosial yang gagal dihadapi oleh sekolah.
Inilah yang kumaksud dengan anak-anak 100 % belajar. Sayangnya mereka belajar di lingkungan yang apes. Dan itulah yang harus kita selamatkan. Jika kita melihat di lingkungan desa yang belum tersentuh kemajuan tentu hal itu belum begitu terasa. Tapi jika di daerah-daerah penyangga, hal-hal ini harus segera diwaspadai.
Indikator yang paling gampang dilihat dari aktivitas TPQ dan angka bolos anak-anak saat sekolah untuk lebih memilih kumpul geng atau bermain PS. Ketika TPQ anak-anak sekarang cenderung susah diatur dan mereka hanya menjalani itu sebagai sebuah tradisi masa kecil yang akan segera berakhir memasuki usia gede untuk segera tampil lebih gaul. Ini hanya sebuah ungkapan kacau yang belum terstruktur. Semoga di kesempatan yang lain aku bisa menulis sesuatu yang lebih baik.
Hanya saja, aku mau bilang. Waspadalah dengan kegagalan pendidikan kita. Karena pendidikan itu bukan hanya berbicara tentang nilai dan ijazah. Tapi sebuah spirit untuk membuat setiap orang merasa peduli, setiap orang harus saling mencintai, setiap orang harus mengerti arti kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang besar, bukan kumpulan orang yang hanya sibuk dengan mengumpulkan kekayaan dengan menindas orang lain.