Hari ini mungkin sangat complicated rasanya. Tadi malam baru saja dapat wejangan dalam lingkaran inspiratif yang cukup banyak. Yang paling nancap adalah repetisi sang guru tentang perlunya kita membangun konsep berpikir sendiri agar tidak mudah mengagumi orang lain dan kepinginan untuk seperti dia. Termasuk di sini adalah membuat prediksi masa depan agar kita mantap menentukan peran yang pondasinya dimulai sejak hari ini.

Pagi tadi juga mendapat kesempatan untuk berbagi dengan teman-teman DEMA FK UNS. Temanya tentang Sense of Belonging. Awalnya aku agak terbengong ketika di SMS salah satu panitia untuk mengisi dengan tema itu. Tapi aku langsung teringat dengan nasihat salah satu kakak senior yang pernah kutemani dalam perjalanan beberapa bulan lalu. Bahwa ketika diminta menjadi pembicara, itu kesempatan belajar, mengeksplorasi dan membuat sebuah rumusan ilmu untuk diwariskan. Akhirnya kuterima tantangan ini meski sebenarnya ada rasa dag dig dug juga.

Ketika sedang menyusun materi saat subuh hari, aku teringat dengan ceramah KH Emha Ainun Najib (Cak Nun) tentang pentingnya mahasiswa itu melatih dirinya membuat terminologi sendiri. Tentu saja dengan gaya khasnya dalam ceramahnya itu, perlunya mahasiswa melakukan seleksi, refleksi dan redefinisi untuk setiap hal yang diserapnya sehingga apa yang diwacanakan kembali adalah produk dari terminologi sendiri yang telah mengalami internalisasi dan modifikasi berdasarkan telaah mendalam dari diri sendiri, bukan sekedar copas dari orang lain.

Maka ingatan berikutnya pun melayang pada kisah salah satu juniorku tentang temannya yang menjadi sangat kaku setelah mengalami indoktrinasi dari seniornya. Bahkan tambahnya lagi anak itu sampai mengalami transisi komunikasi dengan keluarganya. Ada yang salah ini dengan konsep pembinaan jika justru menjauhkan dari birrul walidain. Setiap kali didebat dan diajak komunikasi, dia selalu menisbatkan nama seseorang dalam argumentasi teknisnya. Sebegitunyakah? Itu kisahnya yang bisa kutangkap sebagai kisah dengan interpretasiku sendiri.

Dan akhirnya malam ini berakhir dengan perenungan bagaimana aku harus bersikap seimbang dengan segala kondisi di sekitarnya. Terbiasa mendengar banyak hal, tetapi selektif dan melakukan redefinisi atas hal-hal baru, tidak ditelan mentah-mentah saja. Ada benarnya bahwa kita harus punya bahasa dan terminologi sendiri dalam pribadi sehingga setiap komunikasi kita mewujud sebagai bentuk reaksi unik seorang manusia yang merdeka, suaranya memberi kontribusi, bukan sekedar pelengkap jumlah manusia di bawah kolong langit ini saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.