Pembicaraan mengenai e-KTP yang tidak boleh difotokopi nampaknya masih hangat untuk beberapa waktu ini. Cerita bagaimana KTP yang berisi chip dan rentan terhadap sinar laser dan panas menjadi sebuah pembicaraan heboh. Mulai dari mendagrinya, gubernurnya, sampai masyarakat awam si empunya e-KTP. Entah dulu bagaimana ceritanya, teknologi yang sebenarnya wah ini tiba-tiba mengalami kejadian yang menurutku lucu di tengah pelaksanaannya ini.

Lucu, karena hal ini sebenarnya masalah yang sangat sepele, e-KTP tidak boleh difotokopi. Seperti halnya ATM orang juga tidak boleh memfotocopinya. Tapi mengapa kisah ini jadi sangat lucu, dan terkesan wagu menjadi berita ribuan surat kabar lagi, bahkan diliput televisi untuk sebuah bangsa yang baru belajar memasuki era digital. Orang-orang menjadi resah (kata media), kalau kataku kayake banyak yang tidak tahu malahan e-KTP itu gimana dan sebagainya.

Setelah reformasi, banyak yang telah berubah dari negeri ini. Keinginan untuk membangun bangsa tetap ada memang, tapi semuanya seolah berangkat dari egonya masing-masing. Euforia kemenangan dan kebangkitan Indonesia awal-awalnya seperti aji mumpung. Namun belakangan ini bangsa Indonesia tahu, bahwa mereka tak butuh perayaan untuk berakhirnya rezim orde lama ke orde baru, orde baru ke reformasi. Mereka hanya butuh bukti bahwa reformasi itu ada dan nyata.

Negeri ini sekarang dikuasai oleh banyak orang meskipun secara de jure adalah SBY. Ada republik media massa yang bebas berbuat sekehendak orang yang membayar mereka untuk membangun opini publik, selepas Departemen Penerangan dihapuskan karena dianggap menakutkan dan suka membredel media. Jadi opini masyarakat kita amburadul dan sekenanya. Yang suka bola jadi bola minded opininya, yang suka musik jadi musik minded opininya. Benih-benih ketidakacuhan masyarakat, khususnya generasi muda pada perbaikan bangsanya akhirnya semakin tumbuh subur.

Jika saat ini Indonesia dibilang ketinggalan jaman sepertinya sudah tidak lagi. Berbagai produk teknologi sudah menjamur di kota dan masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka dengan asyiknya menggunakan komputer untuk nge-game, hape untuk nyetel musik dan berbagai tingkah polah yang salah sambung dari tujuan awal piranti dibuat. Dan yang lebih membuat kita tepuk tangan adalah ada kebanggaan dari masyarakat kita memakai barang-barang impor tadi, untuk dipamerkan, bahkan untuk ukuran bagi cewek menerima cowok yang menembaknya. Tepuk tangan, plok plok plok.

Negeri kita sedang bergaya sok teknologi banget di tengah rakyat yang sedang menuntut keadilan. Saking euforianya, dan ingin mendapatkan akses yang lebih mudah dalam data kemasyarakatan akhirnya e-KTP terlanjur duluan dibuat tapi card readernya belum siap. Ditambah lagi tidak ada sosialisasi yang masif berkaitan dengan makhluk baru e-KTP ini. Wajar sih, wong masyarakat majunya lebih sering SMS-an dari pada baca SMS penting. Wajar sih, wong masyarakat kita lebih sering baca beritanya media, dari pada pidato para pemimpin negara (soalnya pemimpinnya mungkin jarang pidato juga, atau karena nggak bisa pidato ya). Sibuk nge-game, kongkow-kongkow dan serangkaian aktivis aneh yang sulit dinalar di negeri yang sebagian rakyatnya boro-boro ngerti handphone, apalagi nanti dikasih e-KTP dan suruh mengaktifkannya.

Kasus e-KTP ini hanya bukti kecil bahwa keadilan pendidikan kita belum tercapai. Tidak semua orang paham bahwa e-KTP itu adalah produk teknologi baru. Tidak semua orang paham bahwa teknologi yang baru ini rentan terhadap sinar laser dan panas. Tidak semua orang paham bahwa e-KTP nanti bisa begini dan begitu. Karena masih banyak rakyat Indonesia yang bodoh, dan lebih banyak lagi rakyat Indonesia yang menjadi masa bodoh. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin bangsa yang sekarang dan yang akan datang bahwa kebangkitan teknologi itu tidak bisa hanya mengandalkan casing perubahannya saja, tetapi mengedukasi masyarakatnya itu jauh lebih utama untuk menaikkan taraf berpikir masyarakat sehingga bisa bertransformasi menjadi negara yang maju.

Indonesia itu beragam dan kaya dengan berbagai kearifan lokalnya. Cara-cara pukul rata adalah hal gila yang menghabiskan banyak dana namun menuai banyak masalah di hari kemudian. Maka dibutuhkan pemimpin negarawan yang bisa melanjutkan tradisi berpikir para pendiri negara ini, bukan pelanjut tradisi VOC yang hobi korupsi dan mencuri kekayaan alam Indonesia untuk kantong sendiri.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.