Presiden Negarawan: Sosok yang Mengerti Sejarah

Setelah orasi selesai, saatnya bedah buku dimulai dengan pemaparan perwakilan penulis dari Bakti Nusa angkatan 3 yang juga menjabat ketua BEM Unpad, Wildan Ghifari, kemudian dari Dompet Dhuafa Ibu Sri Nurhidayah, dan tentu saja satu pembicara kunci yang kedua kalinya kulihat, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Sejarawan Muslim yang telah menghadirkan 2 buku fenomenalnya API SEJARAH.

Tentu saja banyak hal yang dikupas dari konten buku itu. Tetapi aku paling tertarik dengan petuah-petuah Prof. Ahmad Mansur yang mengunci berbagai hal yang digagas para aktivis muda. Dan pada intinya beliau mengingatkan kami para generasi muda untuk kembali mempelajari sejarah yang sebelumnya telah didistorsi sebagai upaya deislamisasi yang kian menjauhkan umat Islam Indonesia dari akar sejarahnya. Hal-hal sederhana berkaitan dengan realita sekarang beliau sindir sebagai bentuk ketidakmengertian sejarah. Kita bangga menggunakannya sekarang, padahal itu sebenarnya warisan penjajahan yang telah memporak-porandakan negeri ini.

Aku sebenarnya belum pernah membaca buku API SEJARAH secara komprehensif (karena harganya sangat mahal jadinya belum bisa beli). Tetapi menurut beberapa resensi dan komentar yang pernah kubaca, buku itu menjadi buku sejarah ilmiah yang merekonstruksi ulang pemahaman sejarah Indonesia. Dan aku sepakat dengan beliau bahwa kisah sejarah Indonesia hari ini tidak lebih sekedar dongeng yang awang-awangen karena mengalami berbagai distorsi dari bukti-bukti yang sesungguhnya. Selain itu, tidak adanya spirit yang lurus dari kebanyakan sejarawan untuk merekonstruksi jati diri generasi ini membuat sejarah adalah hal yang membosankan untuk dipelajari. Butuh bukti? Silahkan survey anak-anak SMP dan SMA se-Indonesia, berapa yang masih tertarik untuk melakukan kajian terhadap sejarah sebagai sebuah pembentuk kerangka berpikir yang luas. Kalau pun ada, sebatas menghafal saja dan mencari nilai bagus saat ujian nasional.

Setidaknya aku menjadi mengerti bahwa memahami sejarah yang sebenarnya akan membuat pola pemahaman kita lebih tepat untuk memahami suatu hal. Aku dapat menangkap benang merahnya ketika seorang muslim mengetahui asbabun nuzul terhadap suatu ayat Quran maka dia dapat menggali hikmah yang banyak ketika mempelajari tafsirnya. Contohnya adalah ayat di Surah al-Ahzab yang berbunyi, “Laqod kaana fii Rasulillahi uswatun hasanatun …..“. Terjemahnya adalah “Sungguh (dengan penekanan yang sangat, karena lam dan qod merupakan ungkapan penekanan, jika dipakai satu saja itu sudah merupakan suatu hal yang penting, apalagi dipakai dua-duanya) telah ada pada diri Rasulullah, suri tauladan yang baik …“. Jika itu hanya dipahami secara terjemah, orang mungkin tidak mendapatkan hal yang lebih istimewa mengingat Rasulullah adalah orang yang memang luar biasa. Tetapi ketika kita mengetahui bahwa ayat itu turun ketika Perang Khandaq di mana kaum muslimin sangat terjepit, kekurangan bahan makanan. Sampai-sampai Rasulullah mengganjal perutnya dengan 3 batu, sementara para sahabat baru dengan 1 batu. Namun hal itu tetap membuatnya optimis untuk mengatakan bahwa kaum muslimin akan memetik kemenangan dengan menundukkan tiga imperium besar yang melingkari Jazirah Arab. Maka inilah hakikat sebuah keteladanan tentang optimisme menjalani hidup.

Bagaimana dengan negeri ini? Karena kita telah banyak melupakan sejarah, tak banyak hal yang membuat kita termotivasi untuk bangkit. Seperti kebangkitan Jepang yang mampu bangkit menyusul ketertinggalan pembangunan Amerika Serikat selama 300 tahun hanya dengan 50 tahun saja, kemudian bangkit lagi dengan cepat setelah kejatuhan bom Atom. Atau Korea Selatan yang bangkit menyusul kemajuan Eropa yang telah lebih dulu berdiri selama 400 tahun hanya dalam waktu 60 tahun saja. Mereka menemukan jati diri mereka, kepercayaan diri dan tentunya visi kebangsaan yang membuat mereka keluar dari lingkarang kebodohan.

Nah, itulah yang saat ini tengah kita perjuangkan. Fenomena orang Indonesia yang kebarat-baratan, gila impor, pejabat yang korup, pegawai yang statis, dan segala hal negatif itu sebenarnya adalah bahwa perang melawan penjajahan itu belum selesai. Proklamasi kemerdekaan itu adalah deklarasi bahwa intervensi asing sudah enyah dari bumi pertiwi ini dan tinggal kita membersihkan sisa-sisa penjajahan yang terlanjur berakar kuat itu. Hingga kini, pegawai negeri yang malas dan pejabat dan korup adalah potret masa lalu yang hanya berubah zamannya saja. Hingga kini, potret pembodohan sistemik lagi disengaja oleh negara adalah apa yang telah dilakukan oleh kolonial Belanda. Maka sebenarnya kita sedang berperang dengan penjajah hingga hari ini. Parahnya adalah jika kita ternyata masih menjadi bagian orang yang terjajah itu, khususnya terjajah pola pikirnya.

Dan acara hari ini pun berakhir dengan sesi rame-rame meminta tanda tangan. Kebetulan hari itu buku API SEJARAH dijual lebih murah dari harga normal. Langsung ku borong dua-duanya dan kumintakan tanda tangannya kepada beliau langsung. Jabat tangan yang kulakukan berbuah pesan dan doa dari beliau. Aku mengangguk dan berharap doa dari beliau menjadi sebab Allah memberikan kebaikanku di hari depan. Hari itu pula, kami pulang kembali ke Bogor melewati kawasan Padalarang yang permai.

bersambung …

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.