Perjalanan hari ini cukup melelahkan. Pagi-pagi sekali aku harus mengangkat dua bawaan yang sangat berat. Koper dan satu buah kardus besar yang lumayan untuk diangkati sendiri. Atas kebaikan sahabat sekaligus kakakku di Jakarta, beliau mengantarku hingga ke Stasiun Pasar Senen, stasiun yang menjadi saksi bisu perjalananku ke ibukota negara ini berulang kali.

Di atas Kereta Fajar Utama Jogja aku menikmati indahnya perjalanan hari ini. Biasanya aku selalu naik kereta sore hari dan tidur di kereta hingga pagi hari tiba di stasiun, begitupun saat baliknya. Tapi kali ini aku mengambil waktu yang berbeda agar bisa melihat Indonesiaku (khususnya bentang alam pulau Jawa) di sepanjang perjalanan. Benarlah, aku melihat hamparan sawah menghijau di awal musim penghujan ini. Persis seperti kata banyak orang, tanah kita memang tanah syurga, hijau dan meneduhkan. Bukankah al-Quran menggambarkan bahwa syurga itu penuh dengan nuansa kehijauan? Bukankah berdasarkan beberapa riset di Amerika, suasana hijau itu mempengaruhi usia harapan hidup dan optimisme seseorang? Hemm, hanya sekedar renunganku saja.

Alhamdulillah, Allah memilihkan teman di samping tempat duduk seorang dosen BSI Jakarta yang kini ditugaskan ke Jogja untuk membidangi marketingnya juga. Hemm, seorang pemuda yang masih bujang dan inovatif. Percakapan kami pun hidup hingga akhirnya beliau meminta izin untuk istirahat dan tidur. Aku pun terus memandangi kiri kanan, hamparan padi yang menghijau dan pepohonan kelapa yang rimbun. Aku teringat dengan kenanganku waktu pernah ke kota Padang, kota yang penuh dengan kelapa dan menghijau seperti pulau Jawa ini. Segala puji bagi-Mu ya Allah atas anugerah negeri yang hijau dan indah ini. Maka perindahlah akhlak pemimpin kami agar bisa menjadi teladan bagi rakyatnya.

Kota Jogja pun menyambutku dengan hujan yang membuatku harus melanjutkan perjalanan ke rumah yang masih 65 km jauhnya dengan taksi. Hemm, mahal sekali tentunya, terlebih terletak di kawasan Gunungkidul yang sering menjadi alibi sopir untuk tidak mengaktifkan argometernya dan memilih tawar menawar saja. Dimulai dengan tawaran 350 ribu, akhirnya kuperolehlah harga cantik 240 ribu yang melengkapkan biaya tiket keretaku yang 260 ribu hingga senilai dengan harga tiket murah Garuda Indonesia waktu aku ke Jakarta dulu (sebelum berangkat ke Jerman). Skenario yang indah memang, karena ternyata sopir taksi yang bersamaku pun juga orang yang sangat ramah dan nyambung. Sehingga satu jam perjalananku pun penuh dengan hikmah dan wawasan baru.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.