Hari ini matahari bersinar sangat cerah dari pagi sampai sore (08.22 s.d 16.24 waktu setempat). Setelah mencuci baju, ternyata waktu sudah mendekati ashar. Kami segera shalat ashar. Karena sebelum ashar sudah membuat janji dengan mas Ferdi untuk ketemu di pusat kota Wuppertal, habis ashar aku dan salah satu temanku (lebih tepatnya adik tingkatku) berangkat ke sana. Kali ini cuma berdua, karena dua yang lain sudah duluan untuk shopping dan jalan-jalan. Meski cuaca sangat cerah aku telah mempersiapkan segala keperluan jika terjadi penurunan suhu. Semuanya kusiapkan di tas gendong kesayanganku. Sayangnya, adikku tak melakukan hal yang sama, dan ini akan menjadi detik-detik mendebarkanku di akhir perjalanan ini nanti.
Ramainya Akhir Pekan
Sabtu – Ahad adalah hari yang membahagiakan bagi para keluarga di sini. Mereka bepergian menikmati akhir pekan. Berbelanja dan bersuka ria. Apalagi ini menjelang natal, hampir di setiap kota digelar pasar natal (Christmas Market). Masing-masing menawarkan keunikannya. Dan aku pun bergabung untuk melihat keindahan kota Wuppertal bersama mas Ferdi. Setelah janjian di Arkaden, kami bertemu. Karena waktu sudah cukup sore, maka kami hanya sebentar di Wuppertal, foto-foto dan kemudian pergi ke Dusseldorf. Dengan jasa mas Ferdi, kami hanya mengeluarkan 10 euro (ditanggung berdua), karena beliau memiliki kartu tiket 6 bulanan yang berlaku untuk dua orang sekali jalan.
Hawanya semakin dingin. Adikku yang ternyata tidak membawa peralatan double semakin kedinginan. Namun demikian semua terlihat masih biasa saja, bahkan hingga sampai Dusseldorf. Sesampai di sana kami langsung berjalan melintasi kerumunan orang yang cukup padat. Yah, hari ini banyak sekali orang-orang yang menikmati akhir pekannya. Kami bertiga segera menuju tepian Sungai Rhein. Ternyata sungai yang sangat besar ini juga melewati kota Dusseldorf. Masya Allah indahnya.
Di sana ada kapal yang berjalan di sepanjang sungai, ada yang berlabuh di dermaga. Ketika pandangan dilayangkan ke yang lain, nampak bangunan-bangunan Eropa sangat eksotis. Indah sekali. Mas Ferdi yang membawa kamera SLR Canon yang seri terbaru tak capek menjepret kami meskipun hawa dingin kian memuncak dan menusuk badan. Kami terus belari-lari kecil sampai akhirnya kami benar-benar tidak kuat dan mengajak beliau pulang.
Diskusi
Di perjalanan pulang kami berdiskusi banyak hal mulai dari pengalaman hidup beliau selama 10 tahun di Jerman. Pulangnya berapa kali, ceritanya dulu kuliah di sini gimana dan macam-macam pokoknya. Intinya ada beberapa hal menarik yang pantas ku angkat di sini.
Jika kita ingin kuliah di Jerman, tidak harus pakai beasiswa. Modalnya dua, bahasa Jerman yang fasih (level b1) dan ijazah yang diakui. Yang saya tangkap dari penjelasan beliau, tidak semua PT di Indonesia itu diakui di sini ijazahnya, jadi ini pelajaran juga buat yang kuliah dan bervisi untuk S-2 di luar negeri. Pertanyaan di kepalaku? UNS termasuk PT yang diakui tidak ya? Ah, kalau pun tidak, setidaknya jaringanku dengan Prof. Tausch dan mas Ferdi ini mungkin akan menjadi gerbang masukku nanti. Setelah mempelajari banyak informasi tentang kuliah di luar negeri, seperti Jerman itu paling menarik untuk ditempati. Rencana S-2 ke Belandaku gimana ya? Ah nanti, pulang dari Jerman akan ku atur ulang segera.
Yang kedua adalah tentang puasa. Puasa di negeri empat musim itu sangat menguji. Ketika puasanya di musim dingin, maka hari akan terasa pendek. Seperti hari-hari yang kualami ini, dimana matahari bersinar hanya sekitara 8 jam saja sehari. Enak sekali kan. Namun ketika musim panas bisa jadi 16 jam lamanya matahari bersinar. Kasus ini yang dialami mas Ferdi saat Ramadhan kemarin. Mereka jam 3 sahur dan jam 10 malam baru buka. Wow, tidak terbayang lamanya. Hemm, ini harus dipikirkan jika akan studi di Eropa. Ternyata perencanaan hidup benar-benar penting, dan di sinilah aku mendapatkan jawaban mengapa itu penting sekali.
Di tengah perjalanan, kami mampir di toko Asia. Aha ada tempe dan beberapa makanan asli asia. Ternyata kalo tahu lokasi toko China kita bisa belanja bahan makanan yang sesuai lidah kita. Mas Ferdi belanja banyak. Kami hanya membeli satu tempe. Dengan 1,59 euro, sebuah tempe terbeli. Dan kami lanjutkan perjalanan sampai Haufbahnhof (hauf : utama/pusat; bahnhof: stasiun) Wuppertal. Sesampai di sana kami segera mencari bus yang berhenti di halte terdekat dengan tempat tinggal kami, Sandhof.
Detik-Detik Mendebarkan
Setelah mendapat bus nomor 603 kami segera menaikinya. Suhu yang mungkin sudah merangkak ke angka -10 derajat celcius ternyata membuat kami berdua sangat kedinginan. Aku hanya menggunakan kaos dan satu jaket dengan celana jeans. Sedangkan adikku masih kedinginan hingga jaketku yang telah kusiapkan harus kuberikan padanya. Aku berdoa semoga tetap kuat berjalan menembus kulkas raksasa Eropa ini. Yah, aku harus kuat. Ujian jadi murid Pak Indrawan Yepe di Segorogunung sepertinya sangat berguna bagi ketahananku malam ini.
Aku berjalan di depan diikuti adikku. Jarak kami cukup jauh. Tiba-tiba aku melihat adikku itu sempoyongan. What! Aku segera berlari dan memapahnya. Aku semangati dia dan tetap ku ajak bicara sambil bertakbir. Masih 400 meter lagi jaraknya. Ayo semangat adik. Aku sempat memutar otak ketika adikku benar-benar pingsan, sedangkan aku juga kedinginan karena pakaian yang ku kenakan juga tidak setebal biasanya. Aku tetap menahan sekuatnya hingga akhirnya adikku sadar dan segera pulih lagi. Dia terus bertakbir dan berjalan sendiri.
Aku mengikutinya di belakang. Aku terus berdoa semoga bisa sampai di wohnung dengan selamat. Setelah beberapa menit berlalu kami bisa sampai. Dan adikku tadi sempat merebahkan diri dulu sambil menangis. Oh, alhamdulillah masih selamat. Aku hampir merasa bersalah mengajaknya pergi hari ini. Hemm, lain kali dia akan kuminta mempersiapkan perbekalan secara lengkap.