Taraaa, jreng jreng jreng. Tepuk anak sholeh ….
Aku … anak sholeh … rajin shalat … rajin ngaji … dst
Hem, tepuk di atas adalah tepuk yang sering kulakukan untuk mengajak adik-adik TPA memulai pengajian. Asyik banget. Tapi sayang, aku sudah lama tidak melakukannya, tidak tahu kenapa, tetapi sekarang aku sudah jarang turun ikut mengajar TPA.
Whatever-lah. Yang jelas pada hari aku menunaikan amanah mengawal adik-adik ke Masjid Agung kota Wonosari dalam rangka mengikuti Festival Nuzulul Quran (FNQ). Meski tanpa persiapan penuh, akhirnya squad al-Hidayah bisa mengirim 5 orang, 1 pembaca puisi tingkat SMP, 1 pembaca puisi tingkat SMA dan 3 adik2 kecil di lomba mewarnai gambar. Hemm, tak tanggung-tanggung pengawalnya ada 5 orang, 4 ustadz-ustadzah termasuk aku dan 1 santri pengangguran (lho kok). Bersama Hoho, teman SD-ku yang udah menikah dan punya anak (trus hubungannya apa), dan tentunya yang punya mobil, kami di antar menuju suatu tempat yang begitu menyejarah dalam mengubah jalan hidupku.
Memori 4 Tahun Silam
Begitu tiba di depan masjid Agung kota. Pandanganku langsung tertuju pada menara dan kubah masjid. Ingatanku tertuju pada masa-masa di mana aku menjadi bagian dari keluarga itu, memakmurkan dan menjadi orang-orang yang berkhidmat di sana. Kemudian aku jejakkan kaki memimpin adik-adik memasuki gerbang masjid dan segera menuju secretariat panitia lomba.
Sambil membuang pandangan layaknya orang bingung aku mencoba mencari-cari wajah-wajah yang kukenali di masa lalu. Belum ada tanda-tanda orang yang kukenal, kecuali seorang wanita yang tersenyum manis membalas sapaku. Dia adalah salah satu kakak dari adik rohisku yang luar biasa.
Masjid itu menjadi saksi sejarah perubahanku dari zaman kegelapan menuju renaissance. Masjid itu pun menjadi saksi bagaimana gempa hebat telah mengguncang kota di bukit Daksinarga ini. Masjid itu menjadi saksi hidupnya seorang guru yang luar biasa dan berkhidmat selama puluhan tahun menjadi penegak syariat dan pembimbing umat. Itulah masjid yang akan selalu kurindukan setiap saat.
Teralienasi
Namun, kenangan itu harus terganggu dengan rasa terasing yang sangat. FNQ tahun ini jauh lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ketika aku dulu bertengger di sana sebagai panitianya. Konon, kata adikku yang sekarang jadi kepala TPA info yang diberikan oleh panitia terlalu mendadak. Yah, jadi bukan salah peserta dong kalo yang mendaftar sedikit.
Kembali ke permasalahan. Aku mondar-mandir ke sana kemari. Berbekal ingatan wajah-wajah kawan-kawan lama. Namun tak kunjung juga ketemu. Alamak, kok sudah pada tidak ada ya. Atau memang mereka sibuk sehingga tidak ada yang datang. Dan aku tidak ketemu lagi dengan mereka. Sedih dan rindu. Akhirnya aku memilih kembali ke mobil dan tidur untuk merapel tidurku semalam yang hanya 3 jam. Lumayan! Meski kayaknya justru bikin aku tambah lemes.
Yang lebih menyesakkan dada adalah ada salah satu adikku yang lumayan gedhe justru membatalkan puasa. Ya Rabb, kejadian tahun lalu terulang kembali siang ini. Aku hanya bisa istighfar dan mencoba memandang lebih bijak. Meskipun sudah anak SMP, keteguhan berpuasa terkadang tidak sebanding lurus dengan ketahanan tubuhnya. Boleh jadi tubuhnya tahan sebenarnya, namun godaan berat karena masih banyaknya pedagang makanan membuatnya kalah melawan rasa lapar. Dan hal yang semakin tidak penting terjadi. Sandalku ilang dicuri orang sehabis shalat dzuhur. Sabar…..
Dan Akhirnya Dapat
Meski udah senep, akhirnya pengumuman pun disampaikan. Hendri, yang udah sering juara di urusan lomba-lomba yang tampil kedepan, tahun ini kembali menyabet juara 3 baca puisi tingkat SMA. Alhamdulillah, semua telah berbalas dengan rasa syukur. Meski teralienasi, meski melihat hal yang menyedihkan, capaian hari ini menjadi sedikit penyejuk yang membahagiakan.
Akhirnya aku mengakhiri tulisan ini dengan ucapan terima kasih. Terima kasih untuk semua keluarga masjid Agung dan Ponpes Al-Ikhlas yang pernah mendidikku. Terima kasih kepada adik-adikku yang luar biasa, khususnya buat yang sekarang sedang sibuk berteman dengan mesin di Cikarang dan sedang sibuk di dunia aktivis. Kalian telah berubah dan menjadi lebih dewasa. Aku bahkan menemukan kalian sebagai sosok dewasa yang sudah bukan saatnya lagi ku panggil sebagai adik-adik imut seperti dulu.