Aku sedang menikmati sarapan (tapi sudah di atas jam 10 pagi) sambil membolak-balikkan halaman demi halaman buku “Titik Nol” yang baru kuperoleh beberapa waktu lalu langsung dari mas Agustinus Wibowo. Kisahnya unik, perpaduan antara petualangannya saat mengembara sebagai backpacker yang diceritakan pada mamanya yang tengah sakit keras dan menunggu ajalnya.
Tiba-tiba ada SMS masuk yang bertanya kepadaku apakah betul Mbah Harto meninggal. Aku terkejut bukan main, ah itu gurauan saja. Aku pun menelpon ayah, dan bertanya bagaimana keadaan kakek di rumah sakit. Ternyata beliau menjawab bahwa kakek yang sangat kucintai itu telah menghembuskan nafas terakhirnya di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada pukul 09.45 WIB. Hari itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2012.
Seketika itu juga aku langsung habiskan sarapanku yang udah hampir setengah jam baru berkurang separuh karena sambil baca buku bagus. Cepat-cepat aku pulang ke kos, ternyata waktu sudah hampir dzuhur. Segera aku menghubungi temanku yang jadi asisten pembimbing TA-ku bahwa hari ini aku tidak jadi konsultasi. Kuputuskan shalat dzuhur dahulu biar lebih tenang.
Usai dzuhur, kupacu kuda besiku entah berapa kecepatan rata-rata perjalananku hari ini. Aku hanya berpikir untuk segera sampai. Sambil terus berpikir tidak karuan. Alhamdulillah sampai juga di rumah, di saat banyak orang dan kendaraan telah mengerubungi pekarangan rumahku dan rumah kakek. Ada mobil ambulans PKU yang juga baru sampai, oh ternyata jenazah kakek juga baru sampai. Akupun langsung mengambil air wudhu dan berlari untuk menyambut jenazah kakek yang sudah dikemas dalam peti.
Ingin rasanya aku menangis, tapi aku ingat, tak boleh meratapi mayit. Kupandangi sebentar wajahnya yang putih bersih. Kemudian orang-orang telah berkerumun untuk menyalatkan jenazah beliau. Bagiku ini rekor jumlah yang sangat besar yang menyalatkan jenazah sepanjang kematian di desaku yang kuketahui. Diimami oleh ketua PCM Ngawen yang juga sahabat dekat ayah, shalat jenazah pun berjalan dengan khusyuk. Aku terus menahan air mata agar tidak tumpah disaat-saat yang sangat sakral ini.
Usai shalat aku tak melewatkan kesempatan untuk kembali menatap wajah yang kini telah tebalut kafan itu. Kubelai dahinya, kuelus pipinya, dingin tapi menurutku tak pucat. Beliau justru terlihat ketampanannya ketika telah terbujur kaku ini. Wajahnya putih bersih berbalut kain putih. Seandainya tidak di peti yang dalam, ingin rasanya kukecup keningnya sebagai penghormatan terakhirku. Apa daya, aku akhirnya tak kuasa menahan air mata yang menetes tanpa sadar saat menggendong adik perempuanku dan adi keponakanku melihat wajah beliau.
Aku bertemu beliau sepekan yang lalu saat masih di rumah. Dalam keadaan menahan ujian rasa sakit, beliau memanggilku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Hanya aku yang diberi tahu bahwa beliau sering didatangi laki-laki berjubah putih. Sesekali diganggu dengan pemandangan-pemandangan mengerikan setelah itu. Saat itu aku berpikir, yang berjubah putih, mungkinkah itu isyarat bahwa waktu beliau telah dekat. Yang mengganggu itu, apakah karena ada warisan pusaka yang masih hinggap di rumah beliau? Malam itu yang masih tersisa kusingkirkan di sungai nan gelap gulita. Paginya pun aku berpamitan untuk kembali ke kota. Ah ternyata hari ini tanda itu terjawab sudah. Satu kakekku, telah berpulang ke haribaan-Nya.
Di sela-sela menunggu pelayat, aku menemui Mbah Saman, adik iparnya yang menunggui beliau saat di rumah sakit hingga sakaratul mautnya. Aku bertanya keadaan beliau di saat-saat terakhir itu. Beliau bercerita bagaimana beliau justru sebelum menjelang ajal sangat semangat menikmati sarapannya. Selama di rumah sakit beliau terus berdzikir, setiap kali tersentak, Mbah Saman terus mengingatkan lagi untuk berdzikir. Aku berharap semoga itu menjadi akhir terbaik bagi beliau, husnul khatimah.
Entahlah perasaanku hari ini. Sedih, iya, karena aku tak akan bertemu beliau lagi selama-lamanya. Bersalah, iya karena seharusnya aku kemarin menyempatkan diri ke PKU agar bisa bertatap muka dengan beliau sebelum meninggal. Bersyukur, iya jika mendengar kabar bagaimana akhir hayat beliau. Aku hari ini pun terus menunggui dan duduk di dekat jasad beliau. Bahkan ketika diangkat aku ikut membawa peti jenazah itu hingga ke makam. Aku merasa peti itu cukup ringan untuk dibawa kami berempat.
Selama takziah, langit menurunkah hujan dengan lebatnya. Sampai-sampai aku berpikir apakah tidak menyulitkan para penggali tanah perkuburan kakek. Ternyata di makan tidak hujan sama sekali. Ini hujan spesial untuk menyambut hari kematian kakek. Hujan adalah rahmat, anugerah yang harus disyukuri seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Saat jenazah kakek diarak ke pemakaman, hujan pun telah reda, tanpa diiringi setanggi dan aneka tradisi Jawa seperti biasanya, jenazah kakek dibawa dengan mobil ke tanah perkuburan leluhurnya, Trah Eyang Iro Tinoyo di Ngawen. Alhamdulillah, satu hal dalam kematian kakek ini kami bisa menerapkan syariat Islam tanpa harus dicampuri berbagai acara adat.
Sesampai di pemakaman, jasad kakek pun dikeluarkan. Ini adalah tradisi yang sangat jarang dilakukan di masyarakat kami. Kebanyakan jenazah dimasukkan bersama petinya. Tapi aku dan ayah menghendaki jenazah beliau dikeluarkan mengikuti sunnah nabi. Aku ikut mengangkatnya, cukup ringan, jasad kakek seolah tak sabar ingin segera bersentuhan dengan tanah. Itulah saat-saat terakhirku menyentuh jasad yang dahulu selalu menggendongku jalan-jalan pagi dan bermain di bawah pohon sawo. Aku kembali ingin menangis, tapi kutahan saat tanah terus ditimbunkan oleh para penggali kubur.
Kakek, semoga engkau tenang dalam perjalananmu yang baru ini. Ternyata hidup ini terlalu singkat dan aku sering melewatkan kebersamaan di hari-hari terakhirmu. Kenangan makan bersama setiap Ramadhan dan hari-hari aku mengunjungi rumahmu setiap kali aku pulang kini tak akan kualami lagi. Aku berjanji kakek, akan lebih sering pulang untuk menemani nenek yang kini tinggal sendirian. Selamat jalan kakekku!