“…dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia.” Itulah penggalan naskah yang tertera di bagian akhir novel yang telah berusia  lebih kurang 78 tahun ini. Sebuah harapan besar seorang pujangga di zamannya untuk melihat kemerdekaan negeri ini. Merdeka dari penjajah, merdeka pula dalam mengisi kemerdekaan, melangkah ke masa depan, sehingga tercapailah sebuah keadilan dan kemakmuran.

Ungkapan di atas mungkin dapat membuka pemikiran kita terhadap sebuah karya sastra lama yang biasanya monoton dengan gayabahasanya dan alur ceritanya untuk lebih memandang nilai yang dikandungnya. Secara fisik, penampilan dari novel ini memang sangat sederhana. Sampulnya yang polos dan lay out-nya yang biasa-biasa saja sudah tentu membuat kita malas membacanya jika kita tidak memegang prinsip biarpun wajah tak cantik, asalkan hati bersih dan suci. Yang jelas, novel yang satu ini bukanlah sembarang novel. Novel ini adalah sebuah novel cinta, namun syarat dengan ajaran agama, penuh dengan nilai moral dan budaya. Realita kehidupan yang pelik dan kompleks sangat jelas digambarkan oleh HAMKA dalam setiap urutan ceritanya. Untaian kata-kata yang indah, bahasa yang santun telah membawa novel ini kepada pencapaian maknanya. Ia bukan novel kuno, bukan pula modern, melainkan sebuah novel pembangunan jiwa yang sifatnya jangka panjang.

Dalam kisahnya, seorang pemuda bernama Zainuddin harus menjalani hidupnya dengan penuh penderitaan. Siksaan batin yang bertambah-tambah terus menggerogoti hidupnya sampai akhir hayatnya. Ia adalah pecinta sejati yang sangat berbelas kasih, penyayang dan senantiasa merindukan cinta dari orang lain. Ia sangat santun lagi terpuji. Namun kerasnya adat Minangkabau tidak dapat menerimanya, hingga akhirnya ia terusir dari tanah moyangnya lantaran pergaluannya yang dianggap tidak tahu adat. Ditambah lagi dengan penghianatan Hayati, kekasih yang dicintainya, yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Penderitaan yang berlarut-larut ini membuat anak yatim piatu ini hampir saja mengakhiri hidupnya. Untunglah Muluk[1] dengan setia menemaninya dan menggiringnya hingga akhirnya tercapai kesadaran pada dirinya. Paradigmanya tentang cinta berubah. Lautan kesedihan yang dilalui ia jelmakan ke dalam tulisan, puisi dan syair-syair yang indah. Jadilah ia seorang yang termasyur di negeri ini. Ia menjadi teladan bagi bangsa walaupun sebenarnya dia sendiri hidup dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sampai ajal menjemputnya. Cintanya tak pernah terbalaskan.

Sekilas garis besar dari perjalanan seorang Zainuddin, seorang anak manusia yang selalu dirundung nestapa. Kisah kehidupannya merupakan teladan bagi generasi muda agar tidak terjebak dalam lautan cinta yang bersendikan dunia dan wanita, tapi dapat menjadikan cinta sebagai kekuatan dahsyat yang mampu melejitkan dirinya kepada tingkatan hidup yang tinggi. Karena pada hakikatnya, cinta tertinggi adalah cinta ilahi, kecintaan yang berlandaskan nafsu akan selalu mengecewakan, tetapi kecintaan yang berlandaskan tuhan akan senantiasa kekal dan membahagiakan. Lebih lanjut lagi, HAMKA menyisipkan pembangunan moral yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang luhur. Beliau yang juga sebagai tokoh agama ini begitu pandai mengolah susunannya, sehingga para pembaca secara tidak sadar akan menerima sebuah pelajaran yang berharga lewat perjalanan sosok Zainuddin dan tokoh-tokoh lainnya. Di samping itu, beliau sampaikan pula wawasan kebudayaan yang sangat berharga. Ia memiliki dua makna, pertama adalah sebagai kritikan terhadap suatu adat lembaga dan yang kedua adalah sebagai pengetahuan.

Di samping itu, satu hal terpenting dari novel ini adalah penyajiannya yang sangat khas. Beliau dapat menyusun sebuah kisah cinta yang romantis, namun penuh dengan polemik yang ini mungkin sulit untuk disusun oleh pengarang sezamannya, bahkan hingga saat ini, karena jika kembali kepada inti dari novel tersebut sebenarnya adalah dakwah dan  pembangunan diri. Dibandingkan novel-novel karyanya yang lain, novel ini lebih menyentuh dan mampu membuat para pembacanya meneteskan air mata sejenak karena kehalusan ceritanya. Di era ini, ada sebuah novel yang bisa dikatakan sekelas  bahkan mungkin lebih tinggi darinya, yakni “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Shirazy, tetapi ia menggunakan pendekatan nilai-nilai Islam yang lebih kental dan murni namun tetap tesirat di dalam penggambaran watak tokoh-tokohnya. Namun demikian, keduanya boleh dikatakan memiliki tujuan yang sama baik segi entertainment maupun dalam spirit building.

Tetapi tidak dapat dipungkiri, sehalus apapun bahasanya jika zamannya telah berbeda mungkin akan menjadi kendala di kalangan pembaca. Struktur bahasa yang kontras dengan zaman sekarang boleh jadi berfungsi sebagai filter bagi para pembaca. Mungkin di kalangan para penggemar berat novel-novel cinta masih setia untuk mebolak-balikkan novel ini. Seharusnya hal semacam ini menjadi perhatian kita, walaupun novel tersebut telah ditulis sejak tahun 1938 dan dicetak ulang sampai 26 kali dengan segala keasliannya, namun kita tetap harus berusaha care dengan bahasanya, karena ia tetap bahasa Indonesia yang telah diikrarkan oleh para pemuda sejak tahun 1928. Kita harus belajar sastra lebih banyak lagi.

“Buku TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK ini melukiskan suatu kisah cinta murni di antara remaja, yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa yang patut dijadikan tamsil ibarat. Jalan ceritanya dilatar belakangi dengan peraturan-peraturan adat pusaka yang kokoh dan kuat, dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkamu-kerabat, dan berinik-mamak.” Demikianlah komentar yang terdapat dalam novel ini. Akhirnya, novel ini patut dibaca oleh siapa saja yang ingin terus mencari jati dirinya dan meningkatkan kualitas dirinya.


[1] Seorang Parewa (anggota preman di Sumatra Barat) yang akhirnya menjadi sahabatnya yang setia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.