Hari ini adalah agenda touring ke Tawang Mangu bersama salah satu juniorku. Sebenarnya bukan untuk bersenang-senang saja sih mumpung akhir pekan. Tetapi ada undangan untuk menjadi pembicara di sebuah forum remaja masjid di sana. Aku mengapresiasi langkah adik tingkatku yang kini sudah menjadi bagian dari masyarakat yang peduli dengan kegiatan remaja masjid. Ups, aku malu karena kegiatan remaja masjid di dusunku telah mati sejak kutinggalkan dan fokus di kota tempat tinggalku sekarang.
Usai memberi motivasi anak-anak SMA yang luar biasa itu. Aku melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat keindahan lereng Gunung Lawu yang terkenal itu. Hawa dingin yang mungkin lebih pantas dikatakan sejuk mengingatkanku akan kota Paris. Bedanya aku melihatnya dari balkon Les Invalides yang tepat berada di seberang Menara Eiffel yang terpisahkan oleh Sungai Seine. Sedangkan di sini aku melihat pemandangan alam dari bahu jalan yang lebar. Ah tidak nyambung ya.
Membandingkan Eropa dan Indonesia jelas tidak ada duanya. Tidak ada kesan yang lebih besar setelah aku meninggalkan Eropa selain keramahan, keteraturan dan biaya hidup yang tinggi. Sementara di negeri ini setiap hari selalu ada kesan yang berbeda karena begitu mozaiknya. Alam yang hijau, subur, dan SDA yang berlimpah. Namun di tempat lain ada ironi kemiskinan dan potret perilaku warga yang memiskinkan diri. Duh negeri ini terlewat kayanya, tetapi perilaku mayoritas masyarakatnya telah memiskinkan diri mereka sendiri.
Negeri ini adalah negeri yang mengajarkan gaya hidup ketimuran yang arif dan bersahabat dengan alam. Maka hidup di negeri timur dengan gaya Eropa jelas sebuah kesalahan besar, namun itu adalah arus yang dialami oleh mayoritas penduduk negeri ini. Siapa yang mau disalahlan saat mata melihat hijaunya alam nan subur ini tapi tidak terbersit rasa syukur? Siapa yang mau disalahkan saat melihat kedamaian desa yang akhirnya malah tergusur dan sepi karena setiap orang tergila-gila dengan hedonisme kota? Mari kita periksa sendiri-sendiri, yang sakit mata kita, syaraf kita, atau otak kita.
Maka ketika mata hati kita tertutup, kita tidak akan mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Mata hanya akan melihat kekayaan itu dari uang dan apa yang terlihat megah, sedangkan mata hati akan mengenali kekayaan dari hakikatnya. Negeri kita ini kaya karena anugerah-Nya. Sungguh tak elok kita mengganti anugerah kekayaan ini dengan kekayaan versi mata kita. Naifnya kita, yang tidak takut lagi akan azab-Nya.
Rabbighfirliy-rabbighfirliy.