Ceritanya ini adalah sebuah pesan kecil untuk adik-adik SIM yang sekarang tengah menggila dengan karya dan sebuah peringatan atas kekhawatiran yang boleh jadi akan terjadi di kemudian hari. Sebagaimana sejarahnya, dan tentunya visi yang diimpikan oleh para BEM-ers pada era 2006-an, kehadiran UKM Keilmiahan adalah untuk mendongkrak prestasi UNS di bidang keilmiahan dan menumbuhkan mindset keilmiahan pada semua aktivis kampus UNS, maka kehadiran SIM yang merupakan jawaban atas mimpi besar para pendahulu itu diharapkan mampu merealisasikan visi yang telah ditanamkan itu.
Setelah dua tahun kepengurusan, kini SIM telah memasuki usianya yang ketiga. Benih-benih kejayaan itu mulai nampak dengan banyaknya obsesi keluarga keilmiahan ini untuk jalan-jalan melihat luasnya Indonesia dan suasana mancanegara. Kepergianku ke Jerman sebulan di akhir tahun lalu sepertinya menandai bahwa setelah itu satu per satu dari mereka akan segera melakukan hal yang sama. Tak heran jika akhirnya sudah ada yang ke Singapura, Kuala Lumpur, Manila, dan terakhir kemarin ada yang ke Bangkok. Menyusul kemudian akan ke Kuala Lumpur lagi dan ke Taiwan.
Semua itu sebenarnya hal yang seharusnya “biasa”. Mengapa? Karena tugas Studi Ilmiah Mahasiswa dan orang-orang yang berkhidmat di dalamnya adalah mengembalikan kebiasaan mahasiswa. Menulis, berkarya, berinovasi, menjadi solusi, melakukan pengabdian, menjadi aktivis organisasi, berprestasi, jalan-jalan ke kampus lain, keliling Indonesia, jalan-jalan ke luar negeri, jadi paper presenter, jadi orator dan yang sejenisnya, bukankah itu adalah aktivitas yang seharusnya “biasa” bagi mahasiswa? Aneh bin ajaibnya aktivitas itu dianggap sebagai hal yang wah bagi kebanyakan mahasiswa sekarang. Masalahnya, apa perbedaan mahasiswa dengan yang tidak pakai maha, alias siswa? Atau jangan-jangan memang system pendidikan kita menurunkan level mahasiswa menjadi siswa-siswa saja. Yang taraf berpikirnya biasa-biasa saja, yang etos kerjanya pas-pasan sebatas kerja dan dapat uang saja.
Ada hal yang berbahaya yang wajib diwaspadai setiap orang di SIM. Godaan prestasi dan berbagai tawaran kemudahan untuk menikmati berbagai fasilitas kampus membentang di depan mata. Obsesi untuk bergelar juara pun tak pelak membuat kita begitu terobsesi mati-matian hingga yang awalnya visi menjadi sebuah ambisi. Salah satu korbannya adalah ketika dalam organisasi itu ada teman sevisi yang tak terobsesi seperti ambisinya untuk meraih gelar-gelar itu karena memang memiliki passion mewujudkan karya dalam bentuk lain. Bahasa sederhananya, yah akhirnya yang hobi jalan-jalan itu, karena terlalu ambisius akibatnya memaksa dengan bahasa halus kepada mereka-mereka yang memang passionnya dirumah. Lama-lama kesannya, yang memang enak suka jalan-jalan tetap dalam jalan-jalan dan memilih tidak mau kerja ketika saatnya harus bekerja, karena alasan jalan-jalan memang sulit ditolak juga. Sedangkan yang tinggal di rumah tetap berharap bisa bepergian dengan cara yang lain meskipun tak kunjung menemukan jawaban.
Hati-hati adik-adikku. Inilah titik kecemburuan yang suatu saat akan terjadi. Karena mewujudkan visi yang menjadi mimpi bersama organisasi dengan mengejar ambisi pribadi untuk dihargai itu beda tipis, bahkan saking tipisnya memang tidak bisa dibedakan kecuali setelah terjadi akibatnya di kemudian hari. Mari kita kembali kepada asal dari visi lembaga besar ini, mengembalikan fitrah mahasiswa untuk berkiprah sebagaimana “biasa“-nya mahasiswa. Tidak ada yang wah sama sekali sebenarnya melakukan aktivitas karya dan berpetualang itu. Karena bukankah itu memang seharusnya yang dilakukan mahasiswa. Kalau di kampus hanya mendengar, menyimak, kemudian menulis kembali (kadang lupa) demi dosen-dosen yang terkadang memberi nilai kurang memuaskan dan terkadang ada juga yang kurang obyektif, alangkah borosnya uang dan waktu kita.
Jadi, inilah sebuah pesan yang harus selalu diingat-ingat oleh kita semua. Orang SIM bukan orang eksklusif yang benar-benar ingin semata-mata mengejar karya dan jalan-jalan. Itu adalah aktivitas yang memang sewajarnya dilakukan sebagai hiburan dan pengurang stress ditengah penatnya dan padatnya sistem kuliah yang memang belum bisa berubah menjadi lebih manusiawi (dan memang sebaiknya tetap diikuti dari pada dicela dan tidak diluluskan). Ketika kita melihat siapa pun di samping kita tidak bersikap “biasa“ sebagaimana seharusnya kaum cendikia, maka kita ajak ia. Jika lembaga-lembaga mahasiswa lain minta bantuan, maka sudah saatnya untuk berkiprah di sana. Kita berbagi dan terus memberi, bukan mencari dan meminta. Selagi kita bisa memberi, maka utamakan itu sebelum kita meminta hak kita. Memberi-memberi.
Allah maha membuka, pasti akan terlihat siapa-siapa yang bergabung di SIM ini demi sebuah ambisi dan siapa-siapa yang bergabung karena memang suka dan menjadikan jalan ini untuk pengabdian. Visi dan ambisi, beda tipis dan hanya hati masing-masinglah yang bisa membedakan. Yang pasti, ambisi akan menghancurkan banyak orang dan banyak sistem yang telah terbangun tanpa disadari. Yang menulis ini pun juga takut ketika menorehkan tulisan ini karena bukan berarti yang menulis ini aman dari penyakit itu. Jika kita mau belajar dan mengamati jeli, bukti dari hal ini telah tersebar di sekitar kita, termasuk bagaimana ruwetnya bangsa kita yang selalu sulit untuk menapak jalan menuju visinya padahal potensi SDM-nya berlimpah.
Beruntung Allah menganugerahi kita negeri yang teramat kaya. Ditongkrongin Belanda 350 tahun, Jepang 3,5 tahun hingga kini masih bisa sedekah emas cuma-cuma kepada Amerika hingga 8.000 triliyun per tahun. Memang negeri yang luar biasa, karena kayanya seolah negeri ini dicurangi, dikorupsi, bahkan diperas juga tidak kering-kering. Kasihan rakyat yang tidak mengerti, ditambah kaum intelektualnya yang lebih mementingkan diri sendiri. Semoga ini menjadi refleksi, khususnya buat adik-adikku SIM yang kini tengah bersenang-senang dalam lembaga yang katanya baru. Ingat, visi dan ambisi beda tipis, hanya kita masing-masing sesungguhnya tahu apa yang bersemayam di hati kita. Tetap BELAJAR – BERKARYA – MENGABDI