Waktu di jam tangan kami tepat menunjukkan pukul 13.00 WIB. Kami telah berkemas dan siap untuk meluncur ke Soetta bersama mobil yang kami carter dari rumah tinggal kami sejak kemarin. Di sepanjang perjalanan, aku terus meyakinkan diriku bahwa aku hampir pasti berangkat ke Jerman. Aku akan ke Jerman, negeri tempat Habibie pernah belajar dan hingga kini kembali menetap di sana. Negeri yang kukagumi karena kedigdayaannya di antara semua negara Eropa barat.

Sesampainya di bandara ternyata waktu check in masih dibuka jam 3. Padahal di tiket kami dinyatakan 6 jam sebelum itu telah dibuka. Yah, pengalaman pertama, tak masalah berlama-lama di bandara. Bisa diskusi banyak hal dan mengecek lagi apa yang masih kurang dan belum di bawa sehingga masih bisa dicari di sekitar bandara.

Belajar dari yang Tua

Di sela-sela waktu menunggu itu aku bertemu dengan kakak salah satu temanku yang juga seorang pilot Lion Air. Dia membawa satu teman laki-laki yang kemudian membuatku kami segera akrab diskusi. Berbeda teman yang jadi pilot tadi beliau bekerja sebagai karyawan perusahaan penerbangan Batavia Air. Beliau ternyata orang desa sama sepertiku, desa yang ndesit. Sama-sama jawa, sehinga pembicaraan kami pun menggunakan bahasa desa yang ga terjamah oleh kota. Dan pembicaraan sore ini menjadi menarik karena lagi-lagi aku mendapatkan kesimpulan, belajarlah dari mereka yang telah berjuang sungguh-sungguh.

Beliau dulu adalah orang yang sebenarnya diterima di jurusan pendidikan salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta dengan jurusan PMDK. Karena alasan ekonomi, beliau memutuskan untuk tidak kuliah dahulu karena meskipun mendapat banyak keringanan orang tua sama sekali tidak mampu membiayai. Beliau memutuskan untuk bekerja dahulu, sampai akhirnya beliau dapat kuliah di salah satu sekolah penerbangan di Yogyakarta. Sejak masa bekerja dan masa kuliah beliau tidak berubah, tetap bekerja apa pun yang penting halal. Bahkan tidak lagi berpikir tentang kos dan berbagai aksesoris yang lain, yang penting bisa menyelesaikan kuliah. Aku salut dengan perjuangan beliau untuk mengubah taraf hidup beliau di masa depan.

Teman beliau yang paling berharga dalam perjalanan kuliah ini adalah yang menjadi pilot tadi. Banyak bantuan yang beliau dapatkan mulai dari tumpangan kos kalau banyak ujian dan pinjaman laptop kalau lagi banyak tugas. Kedekatan ini menjadikan mereka sangat akrab hingga hari ini. Yah, aku kemudian jadi teringat dengan sahabat karibku sejak SMP hingga kini. Helmi, betapa berharganya dirimu dalam mengiringi perjalananku. Semoga mimpi kita kelak bisa terwujud kawan, sebuah perusahaan dan kawasan ekonomi khusus di daerah kita.

Pengalaman Pertama

Tibalah waktu check ini. Kami segara berpamitan dan saling melambaikan tangan kepada orang yang mengantarkan kami. Begitu tiba di counter, kami bertemu dengan petugas yang kocak juga. Kami hanya bercanda dan ketawa habis-habisan, sampai ketawa kita terhenti ketika beliau menunjukkan Air Port Tax 150ribu per orang. Haa, bukannya di tiket sudah termasuk taxnya. Ternyata ada Tax buat bandara juga to, memang Indonesia banget. Tak masalah, uang hibah masih sisa.

Ketika melewati pengecekan barang aku menemukan hal yang sangat tidak biasa. Di penerbangan internasional ternyata jauh lebih ketat. Masa ikat pinggang hingga sepatuku dan segala aksesoris logam yang melekat harus di lepas dan dilewatkan bersama barang-barang kabin. Jadilah kami gaduh dan kerepotan. Wah, ada-ada saja mas-mas dan mbak-mbak petugasnya. Alhamdulillah pengecekan 2 lapis lancar (karena kami memang bukan teroris. Lah apa hubungannya?)

Setelah melakukan boarding sebentar, kami dipanggil untuk memasuki sebuah pesawat yang sangat besar (menurutku sangat besar karena baru pertama kali masuk pesawat yang seperti ini). Jika biasanya tempat duduknya hanya tiga tiga dengan ruas jalan di tengah. Kini ada 3 di kiri kanan dan 4 di tengah. Berarti besar banget pesawatnya. Dan kami berempat dapat banjar tengah dengan nomor berurutan, otomatis kami sebaris. Bisa akrab sih, tapi tidak bisa melihat jendela sama sekali. Akhirnya kami sepakat untuk waktu pulang nanti kita berempat minta di tempatkan di pinggir jendela agar dapat melihat keindahan Eropa dan semua daerah yang dilalui.

Tahukah? Penerbangan ini untuk rute pertama ke Abu Dhabi, pangkalan pusatnya Etihad sebelum berganti pesawat lagi menuju Eropa. Pramugarinya Etihad Airways cantik-cantik loh. Kebanyakan wajah eropa dan keramahannya jauh melebihi pramugari Garuda yang udah ku puji di tulisan sebelumnya. Hemm, kekagumanku mungkin akan terus bertambah sesampainya di Eropa nanti sekaligus sebagai pengingat diri bahwa jika wanita itu hanya dinikahi karena kecantikannya maka disinilah gudangnya. Mau memuaskan diri untuk melihat silahkan ke sini saja.

Pesawat pun segera lepas landas dengan mulusnya. Hampir tidak terasa bedanya antara waktu jalan di tempat hingga terbangnya. Halus sekali. Beginilah ternyata air bus meluncur dengan pimpinan Kapten Hasanuddin, seorang pilot Etihad dari Indonesia (kira-kira begitu karena beliau menyapa kami di awal dengan salam dan bahasa Indonesia yang sangat fasih sebelum beliau ulangi dalam bahasa Inggris).

Momen Spesial

Yang paling berkesan adalah bertemu dengan Ms. Anna Mariana dari Rumania bersama satu orang pramugara. Udah cantik, tinggi, sangat ramah lagi (ya dong, ga bisa senyum indah dan ramah ga bakal kepilih jadi pramugari). Beliau mengira kami adalah para pasangan muda karena formasi kami 2 putra 2 putri. Ketika kami mengklarifikasi beliau malah bilang wah diseriusi, besok kalo nikah kasih undangannya. Gila, ada-ada aja Ms. Anna yang cantik.

Makanan demi makanan dari para pramugari terus berdatangan sampai kami tidak kuat untuk makan. Selain khawatir kebelet di pesawat karena memang alokasi perut kami terbatas. Hemm, begini ternyata berada dalam pesawat penerbangan internasional. Kelas ekonomi saja makmurnya kayak gini apa lagi jika naiknya kelas yang di atasnya. Pasti bakal teler karena kebanyakan fasilitas.

Seperti garuda, di depan kami tersedia layar monitor yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan garuda. Banyak hiburan yang ditawarkan mulai dari film, drama, audio, hingga berita yang dapat kami putar setiap saat sesuka kami. Hal yang sangat mengagumkan bagiku adalah karena maskapai penerbangan ini milik salah seorang muslim maka sebelum pesawat lepas landas

Setelah hampir 6,5 jam penat di pesawat (ternyata naik pesawat itu lebih membosankan dari pada naik kereta api kalau kelamaan), mendaratlah si burung besar ini di bandara Internasional Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Bandara yang terkenal dengan kenyamanannya karena merupakan bandara transit dari berbagai maskapai internasional. Sebelum kami keluar, Ms. Anna dan kru-nya telah menyambut kami dengan coklat dan merayakan kebersamaan kami. Aku masih ingat bagaimana pramugara yang lucu tadi mengucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada kami dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Dan lagi-lagi, air bus ini mendarat dengan sangat halus. Hampir tidak ada bedanya antara waktu terbang dengan waktu berjalan di atas landasan. Halus sekali. Terima kasih Allah, Kau izinkan rihlah panjang ini terjadi. Rihlah yang akan mengubah seluruh hidupku di kemudian hari nanti. Insya Allah.

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.