Bersyukur rasanya menjadi orang yang bisa berguru pada banyak orang. Hampir tidak ada hal yang bermasalah saat sejak mulai mengenal Islam terbiasa belajar banyak orang di lintas harakah dan ormas. Mungkin latar belakang dulu lahir dari masyarakat Abangan menjadikan ketiadaan beban saat mulai mengenal Islam untuk belajar, sehingga tidak juga fanatik di satu harakah meskipun pada akhirnya aku melabuhkan pilihan di salah satu harakah Islam.
Di masa belajar yang panjang itu, Allah memudahkanku untuk mengenali hal-hal mendasar tentang guru dan pengajarannya. Hingga kaidah yang sederhana itu bermanfaat hingga hari ini. Ketika Allah membukakan banyak hikmah dari pintu shirah di masa dahulu, maka itu adalah titik yang melegakanku untuk bagaimana aku belajar dan kepada siapa sebaiknya aku percaya untuk menimba ilmu di tengah kehausan bekal hidup saat ini.
Rumus yang terpatri dalam berguru adalah memperhatikan sisi keteladanan dari sang guru tersebut. Tidak mungkin kita akan menemukan sosok yang sempurna dalam segala hal, dalam keilmuan dan kesempurnaan sifat, karena guru kita juga manusia. Namun aku masih percaya, keteladanan yang dicontohkan seorang guru adalah jaminan yang dapat membuat kita bisa menggali banyak ilmu dari beliau. Maka jadi murid itu jangan hanya duduk dan mendengar apa yang beliau katakan, tetapi perhatikan hal lain dari beliau untuk kita mengetahui sekaligus belajar dari adabnya.
Di zaman fitnah seperti saat ini, kaidah tabayyun dan kepercayaan terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita penting untuk dijaga. Di saat berita dapat dengan mudah menyebar lewat kicauan, status, atau pun postingan berita, maka tabayyun dan tetap berpikiran positif itu lebih diperlukan. Toh jika memang akhirnya berita itu benar, setidaknya kita mendapatkan pahala karena menjaga diri dari luapan gosip karena kita berhasil kroscek langsung ke sumber yang terpercaya, bukan dari gosip yang beredar.
Terlebih untuk generasi muda yang hari ini gampang sekali berapi-api dalam belajar. Sekali kenal seseorang seolah-olah ia yang paling benar. Koar-koar tidak karuan, saling serang saling tendang satu sama lain. Tapi mungkin begitulah fenomena anak panah pergerakan yang masih segar dan energinya meluap tanpa batas. Mereka terampil sekali menggunakan dalil ini itu untuk saling menghantam dan berdebat. Bukan apa-apa sih, toh mungkin itu juga dapat materinya dari guru mereka juga. Mereka mengatakan apa yang guru mereka katakan. Aku tak yakin jika referensi belajar mereka luas dan banyak, mereka tidak akan seagresif itu. Yang jadi lucu adalah bukankah ini adalah fenomena pragmatisme beragama yang jauh dari teladan para penuntut ilmu di masa awal generasi terbaik umat ini.
Aku merasa beruntung ketika belajar dan menyimak ilmu dari tokoh-tokoh yang hari ini banyak dipandang ulama di mata masyarakat luas sekaligus dapat melakukan investigasi. Mengapa? Karena kehidupan keluarga mereka adalah cerminan kuat atas gerak dakwah yang mereka usung. Bahwa guru A ini ternyata kaya dan sejak gerakan dakwahnya meluas kekayaannya berlipat dengan rumah baru dan mobil yang bertambah banyak. Atau guru B ini tetap seperti dahulu, rendah hati dan tetap konsisten dengan perkataannya dahulu. Ini penting kawan, kata-kata di depan boleh saja indah, tapi sisi lain hidupnya adalah sumber energi perkataannya. Bukan karena kita ingin mencari aib, tetapi ini bagian penting kita belajar. Toh ketika kita mendapati sisi buruk guru kita, maka tutup mulut dan berlindung dari menyebarkan aib adalah hal yang utama.
Jika kita baru mengenal seorang guru dari forum yang terbatas dan cerita-cerita orang-orang terdekat, maka ya jangan seperti orang yang sangat kenal hingga memuji-muji berlebihan. Jika kita mengenal guru yang berseberangan pendapat dengan kita, maka juga hentikan sikap antipati, apalagi jika sumber pengetahuan kita hanya dari mendengar dan membaca pendapat orang lain tentang beliau. Seringkali kudapati hari ini anak-anak muda yang masih giat belajar agama, tapi jadi mesin propaganda efektif untuk memuji seseorang secara berlebihan atau sebaliknya terlalu antipati terhadap seseorang. Tak ayal, ketika ada dua orang muda berseberangan ujungnya debat dan sangat meruncing. Bukannya berakhir pada titik pencerahan, tetapi kesan yang didapat lebih uji tanding kapasitas untuk eyel-eyelan. Miris sekaligus membosankan.
Bijaksananya, kita tidak bisa menyalahkan bagaimana guru-guru kita mengajari kita. Karena mungkin mereka juga belajar dengan metode tersebut dari guru mereka dahulu. Dan yang bisa kuajakkan untuk saudara-saudariku yang masih muda. Kita ini belum ada apa-apanya. Sementara ilmu yang harus kita pelajari lebih banyak dari waktu yang mungkin tersedia dalam hidup kita. Kita juga mungkin tidak lagi mendapatkan guru-guru hebat sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal atau para pendekar agama di masa lalu itu. Hanya hari ini, guru-guru yang selalu menjaga kezuhudan hidupnyalah, sumber-sumber ilmu dan hikmah itu masih tersedia.
Guru itu dipegang dari konsistensi perkataannya dan bukti perbuatannya. Itulah sisi yang berat bagi kita yang mau tidak mau pasti akan menjadi guru, minimal untuk keluarga kita. Sekaligus itu adalah pahala besar bagi siapa pun yang mendedikasikan untuk jalan ini. Yang kupahami dari sejarah para ulama besar, mereka bukanlah orang yang terobsesi sebagai guru dalam arti seperti hari ini. Mereka hanyalah para penuntut ilmu yang giat luar biasa, lalu banyak orang yang ingin menimba ilmu dari mereka. Kira-kira itulah salah satu sisi terpendam dari para guru yang sebenarnya.
Semoga kita dapat belajar dengan lebih tenang sekaligus berguru pada orang-orang yang tersembunyi di balik tipuan mewah peradaban ini. Cari dan temukan guru kehidupan kita, belajarlah dari kesederhanaan dan teladan kehidupannya.