Tadi pagi aku begitu terkesan dengan tweet salah satu followerku

@esonatjeh Rutinitas Ramadhan: 10 hari pertama di Masjid, 10 hari kedua di Mall, 10hari ketiga di terminal, stasiun, bandara

Benar juga ya, Ramadhan di Indonesia dari tahun ke tahun sepertinya akan semakin mengarah ke tren yang ditulis dalam tweet tersebut.

Kemajuan Shaff Shalat

Wah keren ya, shaff shalat mengalami kemajuan. Eits, jangan salah kemajuan shaff shalat itu artinya jamaah shalatnya semakin berkurang. Ini lazim terjadi di akhir-akhir ini. Shalat isya’ dan tarawih yang konon itu adalah ukuran termakmur dari masjid di bulan Ramadhan pun sekarang sepertinya bernasib sama seperti waktu-waktu shalat yang lain. Apa lagi shalat dzuhur dan ashar. Innaa lillaah, masjidnya bener-bener lengang. Bukan karena kekhusyu’an jamaahnya tetapi karena memang ga ada jamaahnya. Lha pada kemana? Ga tahu juga.

Ramadhan saja begini, apa lagi di luar Ramadhan. Hemm, betapa menyedihkannya nasib rumah-rumah Allah tersebut. Di tengah masyarakat yang giat membangun, meskipun kata kemenag pertumbuhannya justru semakin rendah (mungkin jika dibandingkan dengan pertumbungan pembangunan gereja dan rumah ibadah yang lain), maka ironi akan terus terjadi di mana masjid hanya akan menjadi rumah ibadah tahunan yang akan ramai pada bulan Ramadhan dan sepi di luar waktu itu, terutama masjid-masjid di perkampungan. Masalah ini dmulai dari kualitas SDM yang rendah hingga masalah ekonomi masyarakat plus hegemoni kaum tua konservatif untuk menumbangkan dinamika para pemudanya, lengkaplah penderitaan rumah Allah ini. Jadi kemajuan shaff shalat adalah indikasi kemunduran umat! Ini pendapatku.

Trend Ramadhan

Jika kita menyimak hadits tentang Ramadhan sebagai bulan untuk bermanuver amal agar dosa-dosa kita tercuci bersih, kita tentu akan merasa begitu berapi-api. Apalagi output ideal orang-orang yang shaum menurut al-Quran itu akan berbuah ketakwaan. Kalo dalam bahasa orang fisika, bulan ini adalah bulan charger iman dan kekuatan batin untk beramal selama 11 bulan ke depan. Atau ungkapan lain yang kira-kira substansinya sama.

Tapi, apakah realitas hari ini itu memang menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang penuh keistimewaan. Atau jangan-jangan kita sedang mengalami sebuah tren Ramadhan. Yah, Ramadhan itu tren saja. Puasa karena memang tren-nya begitu. Tanpa ilmu, tanpa iman dan keikhlasan. Semua mengalir saja sebagai proses kehidupan yang mengambang. Alamak, parah sekali kalo ini memang terjadi.

Ketika Ramadhan adalah sebuah trend, maka bisa jadi puasa dan rasa lapar kita itu tak akan berarti apa-apa, karena perut yang “luwe” tadi tidak memacu semangat taqarrub kita kepada Allah. Apalagi meningkatkan amalan-amalannya nyatanya. Maka tidak heran kalau di bulan Ramadhan, masih saja orang berpacaran, masih saja orang berfoya-foya. Tetap saja berbusana tidak pantas. Lagi-lagi, karena Ramadhan itu sebuah trend, maka bukanlah landasan syariat yang berlaku. Melainkan apa yang menurut kala itu baik dan disukai masyarakat maka itulah yang dianggap tradisi baik di bulan Ramadhan ini. Maka sekarang, buka puasa dengan sesuatu yang mewah, stok makanan berlimpah, berbelanja baju hingga tumpah ruah di pasar sampai di mall adalah kebiasaan yang lebih menyibukkan masyarakat dari pada sunnah-sunnah yang telah diajarkan Rasulullah dahulu. Naïf sekali. Dan lagi-lagi, setan bekerja sama dengan musuh-musuh Islam memaksimalkan penyimpangan yang sangat halus ini. Luar biasa.

Lebaran = mudik = macet

Dan akhirnya sampailah pada sebuah persamaan yang kudefinisikan sendiri. Sengaja aku tidak akan mengatakan Aidil Fithri, lebih baik memakai kata lebaran saja. Karena mungkin banyak orang tidak berpuasa dan beribadah selama bulan Ramadhan kemudian ikut merayakan hari raya itu (loh, ga perang kok ikut merayakan kemenangan). Nah, jadi ceritanya ketika akan lebaran, maka tradisi (lagi-lagi trend) umat Islam Indonesia adalah pulang dari perantauannya. Maka muncullah istilah mudik. Tetapi ternyata apa yang terjadi? Arus mudik justru menjadi masalah baru tahunan yang harus terjadi dan dibiarkan menjadi tradisi. Yaitu kemacetan. Makin tahun kemacetan makin parah.

Berapa waktu yang dihabiskan masyarakat di saat perjalanan? Padahal seharusnya mereka memaksimalkan 10 hari terakhir untuk beribadah kepada Allah dan meningkatkan amalannya. Berapa besar pula perhatian warga pribumi yang tersita gara-gara menunggu “oleh-oleh” keluarga perantauan. Kesimpulannya, 10 hari terakhir bagi sebagian masyarakat Indonesia justru terbuang sia-sia. Semakin kebelakang, Ramadhan semakin tidak dihayati, hanya dijalani atas nama trend.

Jadi, aku ingin berkata. Ramadhan adalah bulan mulia dengan segala perniknya dan hidangannya. Siapa yang meninggalkannya maka ia telah kehilangan sebuah kenikmatan yang besar itu. Ramadhan itu adalah bulan dimana syariat dapat lebih dekat dengan masyarakat, bukan menjadi paham ekstrim, apa lagi fundamentalis. Ramadhan tidak boleh bertransformasi, ia adalah mulia sebagai mana Allah memuliakannya. Ramadhan tetap menuntut totalitas dan kualitas ibadah kaum muslimin lebih tinggi di atas hari-hari yang lain tanpa terkotori oleh berbagai aktivitas yang tidak penting itu.

Ramadhan tetap indah! Ia penuh berkah!

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.