Ini Kisahku, Itu Kisahmu

Malam harinya, saatnya kami melakukan presentasi untuk melaporkan apa yang telah kami susun selama di daerah program. Ternyata kami memiliki kesan daerah yang begitu berbeda. Jika diurutkan dari kawasan ternyaman hingga yang paling mengerikan, maka pertama adalah dua kawanku yang ditempatkan di Ketapang, Sampit, kemudian dua kawanku yang ditempatkan di Batu Sopang, Tanah Grogot, barulah aku dan mustopa yang di Gunung Tabur, dan terakhir adalah duaku di Abepantai, Jayapura, Papua.

Dua kawanku yang di penempatan daerah Sampit cukup nyaman karena itu bukan daerah pedalaman sekali meskipun aksesnya ke sana cukup lama dari bandara. Tetapi fasilitas kehidupan tersedia paling bagus. Sekolahnya pun relatif paling bagus dari sisi performa SDM-nya. Sehingga bisa dikatakan, dua kawanku di sana lebih fokus untuk berbagi inspirasi kepada para siswa untuk bergiat dalam menulis.

Lain lagi dengan yang di Batu Sopang. Kawasan ini benar-benar pedalaman dan mungkin paling pedalaman di antara kami. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Bandara Sepinggan Balikpapan, mereka harus menyeberang sungai dengan speed boat dan disambung lagi dengan kendaraan sampai daerah tersebut. Sekali jalan ratusan ribu harus dikeluarkan untuk perjalanan itu.

Tapi ternyata di sana mereka menikmati nuansa alami dari orang-orang keturunan suku Dayak pasir. Bahkan salah satu rekanku di sana cerita bagaimana cantiknya gadis dayak di sana. Haiyyah, ini modus lagi. Tapi menarik juga karena mereka sangat pemalu sehingga jangankan untuk mengambil fotonya. Melihat mereka melakukan hal-hal yang geje pun hal yang hampir mustahil. Meskipun di pedalaman dan sekolahnya masih belum sebagus di Sampit, semangat belajar anak-anak dan guru cukup bagus. Nuansa alamnya sangat indah dengan sungai-sungai bening yang mengalir.

Selanjutnya adalah kami yang ditempatkan di kawasan pedalaman yang bercita rasa kota. Penduduk Gunung Tabur bisa dikatakan adalah golongan masyarakat makmur sehingga daerahnya sangat aman. Tapi yang membedakan dengan kedua tempat temanku tadi adalah jika sudah berbicara soal sekolah. Di sekolah ini, segala keragaman sosial yang aneh (lebih tepatnya baca “polemik“) mulai dari guru berangkat siang pulang pagi, guru izin tanpa henti, dan musim perang dingin antara kepala dan guru menjadi makanan kami sehari-hari. Beruntungnya di sini anak-anak masih bersemangat datang ke sekolah, entah mau belajar atau hanya sekedar menghabiskan waktu untuk bermain. Dan yang menyenangkan, kami pun masih menikmati satu hiburan petualangan yang indah di Pulau Derawan.

Dan terakhir adalah cerita dari teman-teman di kawasan Jayapura, Papua. Mungkin inilah kisah yang paling memilukan yang kudengar dari dua teman akhwat yang hebat itu. Bagaimana tidak, pertama kali mereka menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih itu, malam harinya mereka langsung kemalingan hampir seperempat uang program yang dibekalkan. Tak hanya itu, ID card mereka mulai dari KTP, SIM, hingga paspor juga ikut raib bersama sang dompet. Dan tentu saja yang wow adalah ATM. Bagaimana manajemen bisa mengirim uang jika mereka tak bisa mengambilnya. Belum lagi dengan mencari ATM-nya.

Tapi tentu Allah Maha Bijaksana. Mereka mendapati banyak hal luar biasa selama menjalani hari-hari di tempat pertama matahari terbit untuk negeri ini. Meski setiap hari mereka harus menemani anak-anak SD membersihkan kotoran anjing yang berserakan. Meski setiap hari mereka harus melihat pemandangan-pemandangan aneh (kalau tidak mau dibilang memilukan) mulai dari guru yang sedang mabuk dan marah-marah di kelas, orang tua yang datang dengan parang dan memecah kaca jendela sebagai jawaban atas anaknya yang kalah berkelahi hari sebelumnya atau lelucon-lelucon lain yang membuat air mata meleleh dalam tawa sedikit gila. Kami hanya ikut mendengarkan dengan hati gemuruh, sesekali terucap, “oh, ternyata tantangan kami belum seberapa dibanding dengan mereka“.

Dan malam ini pun kami tertidur dengan segala rasa yang berkumpul. Entah kami sedang memikirkan apa, tapi mungkin pernyataan matematika lebih mudah untuk mengatakan bahwa kami sedang memikirkan sesuatu yang sulit didefinisikan.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses