Melihat Kejayaan Kesultanan Gunung Tabur
Sebenarnya siang ini kami juga masih membuka jadwal les. Namun euforia Idul Adha sepertinya lebih membuat anak-anak tertarik untuk bermain dari pada belajar. Tentu kami sangat senang karena bisa tidur lebih lama lagi. Menjelang senja, kami pun memutuskan untuk merayakan malam Idul Adha ini dengan berjalan-jalan ke kota Berau. Jangan dibayangkan dengan seperti saat aku melintasi kota-kota di Eropa setahun yang lalu. Ini benar-benar petualangan menembus liku-liku jalan di tengah hutan yang rimbun dan seram jika telah tiba waktu malam.
Dengan saling berboncengan, aku, Mustopa, Syuaib, dan mas Baihaqi meluncur menuju ibukota Berau, Tanjung Redeb. Aku dan Syuaib meluncur lebih cepat dan membuat jalur sendiri untuk menuju museum Batiwakkal, istana yang menjadi saksi bisu kejayaan kesultanan Gunung Tabur kala itu. Menurut informasi yang aku terima, saat ini masih hidup generasi terakhir pewaris takhta kerajaan itu, seorang putri yang kini telah menjadi perawan tua karena tak ada lagi pangeran yang menyuntingnya. Haruskah darah biru membuatnya tak berketurunan hingga menjelang usia senjanya ini. Jika ia mangkat, maka berakhirlah pewaris kesultanan besar di masa lalu yang akhirnya dipecah belah oleh Belanda menjadi dua kerajaan yang saling berhadapan di tepi Sungai Berau ini.
Di sungai ini aku berdiri gagah melihat pemandangan kota Berau yang tampak dari seberang sungai. Di depan istana kesultanan Gunung Tabur yang kini telah berubah fungsi menjadi Museum Batiwakkal yang dikelola oleh pemkab Berau. Di seberang sana pula berdiri Istana Sambaliung yang merupakan hasil adu domba Belanda sehingga tak jarang perang air pun terjadi antar saudara sendiri. Begitulah, tampaknya warisan itu tetap berakar hingga kini meskipun dimensinya telah berbeda, dalam bentuk demokrasi. Tetapi Devide et Impera adalah hal yang menjadi tradisi, bukan lagi oleh Belanda, tetapi sebagian kecil kaum Inlander yang terlanjur menjadi penderita DeI itu.
Setelah puas melihat pemandangan tepian dan kejayaan kesultanan Gunung Tabur itu, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Redeb, Ibukota Berau. Satu demi satu icon kota kami lewati. Pasar Adji Dilayas, pasar tradisional kabupaten dengan arsitektur mall itu tampak indah di kala senja. Kemudian jembatan kayu di Tanjung Redeb yang menjadi penghubung jalan kala tanggul besarnya tengah runtuh dihantam derasnya arus sungai Berau. Dan perlahan kelap-kelip lampu kota mulai bermunculan diringi dengan gema takbir membahana dari masjid-masjid besar di kota itu yang menaranya menjulang tinggi.
bersambung …