Khatib yang Menguji Iman
Siang ini aku dan mas Baihaqi memutuskan untuk shalat Jumat di masjid hijau yang megah di ibukota Berau. Usai dari kegiatan sekolah kami langsung meluncur ke kota. Menikmati sengatan mentari yang sepertinya semakin kuakrabi dengan menggelapnya warna kulitku. Hujan debu yang bebas menembus zona-zona jalan rusak membuat kami menutupkan tangan di mulut dan muga agar sapuannya tidak memutihkan dan memuluskan wajah.
Masjid hijau itu masih sepi tatkala kami datang. Namun alangkah luar biasanya, hanya dalam waktu setengah jam saja ribuan jamaah tiba-tiba telah memadati masjid besar itu tatkala aku sempat tertidur dan terbangun lalu menoleh ke belakang dan samping kanan kiri. Sang khatib pun memulai khutbah dengan begitu berapi-api dengan lembaran yang tebal di tangannya. Tampak tulisan tangan dari kertas-kertas itu menandakan bahwa dirinya benar-benar menyiapkan materi sendiri untuk kami, bukan sekedar membacakan isi khutbah pada buku-buku khutbah Jumat yang siap saji.
Tapi lagi-lagi ceramah sang khatib yang sesekali diseling rasa haru sang khatib ketika menyampaikan pesan-pesannya harus membuatku bosan. Bayangkan saja khutbah Jumat kali ini spesial sekali karena masa khutbahnya hampir mendekati satu jam. Ternyata konsep berlembar-lembar itu benar-benar ia baca semua dan ia sampaikan kepada jamaah yang hadir. Benar-benar khatib pilihan yang ditakdirkan menguji iman kami hari ini. Karena meskipun seluruh AC dan puluhan blower masjid itu telah dinyalakan untuk para jamaah, aliran keringat masih terus bercucuran di dadaku.
Tapi syukurlah, akhirnya selesai juga. Alhamdulillah.