Mengagumi Kemegahan Masjid Hijau
Kami berjanji untuk bertemu di masjid agung terbesar di kota kaya itu, Baitul Hikmah. Kota yang tepat berada di tepi sungai Berau, di seberang istana Batiwakkal itu memiliki banyak masjid yang megah dengan pusatnya masjid hijau dengan menara-menaranya yang menjulang. Ini adalah masjid keempat yang kujumpai setelah Istiqlal, Masjid Raya Bandung, dan Masjid Raya Jawa Tengah. Masjid dengan warna hijau dengan arsitektur timur tengah dipadkan dengan hiasan tiang-tiang yang banyak dalam koridor panjang yang mengelilingi serambi utaranya.
Dengan latar langit yang telah mulai jingga itu, kuabadikan gambar kemegahannya. Di sini pula, muazin dan qari dengan suara indah kujumpai. Di sini pula, sosok pemandangan akhwat yang biasanya berjibun waktu aku di kampus baru kudapati. Memanglah, makhluk yang spesial ini bukan tempatnya di sini. Kali ini kami dapat singgah cukup lama dari sebelumnya saat hari keduaku di sana. Aku hanya bisa mengucap MasyaAllah melihat banyak hal yang indah di sini.
Dan agenda berikutnya masih seperti waktu pagi. Silaturahim dan makan. Entahlah apakah karena sebenarnya kami ingin dapat makan gratis dan perbaikan gizi sehingga rajin bersilaturahim, atau memang karena kami mengikuti tradisi masyarakat sini sehingga kami dapat makan. Itu tidak penting, yang penting kami menjalani dan dapat mengeratkan hubungan. Segeralah kami menyerbu hidangan di rumah Pak Ismoyo, guru olah raga yang masih muda dan lucu itu.
Belum puas makan di tempat Pak Ismoyo, di perjalanan pulang kami berbelok ke rumah Pak Negramli, guru kelas VI. Lagi-lagi makanan terhidang untuk mengisi perut kami. Memang dasar kaum “dhuafa“, kerjanya dolan dan makan. Lebay betuuuulll, demikian kata Faisal, anak sulung tetangga sebelah kontrakan mas Baihaqi yang kerap numpang nginap di pondokan kami dari pada dapat amukan dari ayah-ibunya yang menyebabkan konser aneh plus tidak bermutu itu. Malam ini berakhir dengan bahagia, perbaikan gizi di hari Idul Adha tercukupi sudah.
bersambung …