Prepare to Battle
Sebelum anak-anak pulang, mereka kami kumpulkan untuk persiapan Outing Class esok pagi. Dengan mengangkat tema tentang pasar, aku ingin membuat mereka melakukan sebuah drama kecil tentang aktivitas pasar sehingga mereka mengerti bagaimana rumitnya sistem pasar dan siapa saja yang terlibat dalam aktivitas pasar itu. Selain itu, mereka juga akan merasakan pengalaman langsung bagaimana menjadi produsen, distributor, pedagang, pembeli, dan petugas pasar. Tampak sekali antusiasme mereka untuk bergabung. Meskipun ada kekhawatiran apakah scenario drama belajar itu akan benar-benar terlaksana seperti imajinasiku besok pagi, aku memantapkan diri untuk menyemangati mereka. Semoga lancar! Insya Allah bisa.
Siangnya seperti biasa, les matematika kembali digelar. Ini adalah les terakhir yang bisa kami selenggarakan di sini karena pekan depan sudah ada ujian tengah semester. Kami hanya berharap agar kegiatan belajar bersama ini dapat kembali dilanjutkan oleh mereka sendiri tanpa harus menunggu bimbingan dari ibu guru. Seandainya boleh, tentu aku akan terus mengajar di sini untuk mendongkrak kemampuan matematika dan pelajaran mereka yang bisa dibilang payah itu. Tapi apa daya, kami hanya bisa berdoa semoga inspirasi kami beberapa hari di sini dapat menghidupkan mimpi mereka yang sering redup karena televisi dan bergelimangnya materi dari kedua orang tua mereka.
Sorenya, aku mengajak anak-anak yang menjadi paduan suara sekolah itu untuk memperbaiki kualitas koor lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta yang biasa mereka nyanyikan di hari Senin. Banyak yang tertarik untuk ikut meskipun ada yang bukan menjadi bagian tim paduan suara. Dialek Melayu, Berau, Bugis, Jawa dan aneka bahasa daerah lainnya (maklum, masyarakat di sini heterogen, pendatang dari berbagai daerah yang telah berbaur dengan penduduk asli) membuat lagu yang mereka nyanyikan menjadi aneh di samping beberapa nada mereka juga fals.
Inilah warna-warni Indonesia yang kulihat dari anak-anak yang penuh dengan antusiame itu. Sejujurnya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal, tetapi itu tidak boleh kulakukan karena barangkali ketika aku seusia mereka nyanyianku untuk dua lagu itu juga fals. Aku masih ingat bagaimana Bapak Sugito, guru seni musikku SMP memarahiku karena nada-nadaku yang fals dalam menyanyikan berbagai lagu nasional. Ketika itu aku hanya bermodalkan keberanian dan suara kelas, tetapi lagi-lagi urusan kehalusan suara dan kebenaran nada yang kupunya sangat payah.
Barulah sejak mengenal dunia nasyid dan rajin berlatih bersama para senior di nasyid Syauqi, khususnya di bawah bimbingan ust. Wawan yang pernah menjadi bagian dari nasyid Suara Syuhada aku mengenal teknik-teknik menyanyi yang baik. Sejak saat itu aku pun PD untuk tampil dipanggung meramaikan pengajian di SMA dan berbagai acara walimahan senior hingga akhirnya berlanjut ke kampus. Memori tentang lagu-lagu nasional pun masih terekam kuat di ingatanku atas jasa Bapak Sugito itu hingga kini. Terima kasih Pak atas ketegasannya untuk tidak bosan-bosan memarahi kami yang “celelekan” di kala itu. Kini kami bisa berbagi kepada adik-adik di pedalaman ini agar tidak kehilangan identitas ke-Indonesia-an mereka.
bersambung …