Idul Adha di Samburakat

Fajar menyingsing, sunyi dan tetap saja gelap menyeramkan. Tidak ada takbir terdengar dari masjid kampung yang sejak tadi malam memang sunyi. Suara azan subuh membangunkan kami untuk segera menyambut pagi 10 Dzulhijjah itu. Tak peduli lagi dengan malam yang sunyi, yang aku harap hari ini menjadi momen yang bahagia bagi kami umat muslim untuk merayakan salah satu hari besar Islam, Idul Adha.

Alhamdulillah, ketika langit mulai terang, suara takbir mulai terdengar dari speaker masjid. Meskipun itu sepertinya adalah takbir di masjid agung Baitul Hikmah yang disiarkan oleh radio yang dijadikan acuan oleh seluruh masjid di Berau, setidaknya pagi yang mulia ini tak lagi sunyi. Dan kami pun berjalan mantap menuju masjid al-Mu’min yang ada di tengah kampung. Tak lupa, kamera digital telah kusiapkan untuk memotret beragam pemandangan baru yang akan kusaksikan pagi hari ini.

Usai shalat, hidangan di rumah sudah menanti. Istri Pak Daswan telah menyiapkan ayam dengan kuah yang lezat. Kata Pak Daswan ini menggunakan bumbu ala hidangan Sulawesi Selatan, tapi aku lupa namanya. Maaf karena aku bukan termasuk aliran Pak Bondan yang hobi mencicip dan menghafalkan nama kuliner. Kebiasaan utamaku cuma makan apa yang telah tersedia, asal halal dan thoyib. Urusan rasa nomor dua, urusan perut terisi itu lebih diutamakan.

Ternyata, masyarakat di sini merayakan Idul Adha dengan berkunjung ke rumah-rumah. Meskipun tidak seramai Idul Fitri, ternyata mereka sudah menyiapkan hidangan untuk menyambut para tamu yang hadir. Pertama kami berkunjung ke rumah Pak RT, hidangan ala Berau pun menanti. Ayam dan nasi ketan yang dibungkus dengan daun pisang menjadi pengisi perut berikutnya. Usai dari rumah Pak RT, kami ke tempat pak Kepala Sekolah. Tentu saja aktivitas kami sama, makan. Setelah itu dilanjutkan ke rumah-rumah yang lain hingga perut kami terasa kenyang sangat. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan mengistirahatkan diri agar semua makanan yang telah masuk itu diproses dengan baik oleh perut kami. Inilah potret Idul Adha di kampung Samburakat, meski malamnya sunyi dan seram tanpa gema takbir, paginya berlimpah makanan hingga kami kekenyangan.

Kurban

Kami hanya sebentar menengok ke masjid untuk melihat aktivitas penyembelihan. Karena di sini terkesan eksklusif, kami memutuskan untuk jadi juru foto saja dan setelah itu kami benar-benar pulang. Mengistirahat perut yang mengalami elastisitas tingkat tinggi ini.

Kisah Masa Lalu sang Imam

Ada satu kisah yang paling berkesan dalam kunjungan kami hari ini. Salah satu sesepuh kampung yang kerap didaulat menjadi imam masjid. Bukan karena beliau imam, atau penghulu di kampung tersebut. Tetapi karena beliau adalah salah satu jamaah yang sangat aktif shalat berjamaah dan dipandang paling mapan ilmu agamanya.

Pak Hasyim namanya, darah Berau asli yang telah lama mendiami pesisir sungai Berau ini. Seorang yang sangat terbuka pikirannya untuk belajar banyak hal. Maka inilah awal kisahnya mengenal Islam. Ketika pertengahan dekade 1990-an, ada serombongan mahasiswa dari Universitas Mulawarman yang mengadakan Kuliah Kerja Nyata di kampung tersebut. Dari situlah dia mulai mengenal tentang Islam dari aktivitas yang dijalankan para mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Shalat, berdoa, bertilawah dan sebagainya.

Perjalanan hidup pun menuntunnya ketika sebuah penyakit jantung membuatnya harus berobat berkali-kali. Dan penyakit inilah yang membuatnya semakin dekat dengan Rabb-nya. Nasihat sang dokter agar hidup dengan sederhana dan apa adanya membuat kehidupannya berubah total seketika. Lima belas tahun yang lalu dirinya sakit-sakitan. Kini beliau kembali bugar dengan berbagai aktivitas hariannya. Dan satu kalimat yang masih aku ingat dari beliau, AKU AKAN SANGAT MENYESAL JIKA MELEWATKAN SATU KALI SHALAT BERJAMAAH. Oh, my God aku malu dengan beliau.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.