Masjid Sultan dan Kebebasan Para Burung

Kami segera melanjutkan jalan-jalan sambil mencari peta singapura. Maklum, persiapan kami untuk membawa peta singapura tidak kami lakukan. Peta transportasi juga tidak kami punya, karena stasiun belum buka. Ya sudahlah, kami menggunakan intuisi mengikuti arah angin untuk menuju titik-titik penting dengan harapan menemukan peta Singapura.

Setelah lebih dari 30 menit berlajalan kaki ke sana ke mari, kami menemukan stasiun Bugis. Sempat bertanya kepada orang-orang tentang lokasi Marina Bay, tempat berdirinya Patung Singa yang memancurkan air. Kami berkata kepada mereka bahwa kami akan jalan kaki, tentu saja mereka menertawakan kekonyolan kami. Yah, pola pikir masyarakat yang dimanjakan teknologi membuat jarak dekat terasa jauh dan diukur dengan waktu yang rigid. Bagi backpacker seperti kami, berjalan kaki adalah seni yang asyik untuk mempelajari banyak hal di kota.

Dengan sampainya kami di stasiun Bugis, kebingungan kami terjawab. Di sana terpampang detil peta Singapura dan posisi kami. Dari situlah kami segera menuju titik penting yang paling penting sebelum ke tempat yang lain, masjid. Masjid terdekat dari stasiun itu adalah masjid Sultan. Masjid yang ternyata berdiri di lingkungan orang-orang Arab. Ada pedagang Arab, restoran Arab dan segala pernak-pernik berbau Arab berada di kawasan tersebut. Dengan apa kami ke sana? Jelas dengan jalan kaki lah ya.

Sepanjang melintasi jalan dan jembatan penyeberangan kami mendapati beberapa orang yang tidur sembarangan. Jika dilihat wajahnya tampah gurat wajah Melayu dan rumpun Vietnam. Wow, ternyata mereka lolos dari sweeping petugas keamanan. Nah, ini nih kesempatan bagi teman-teman khususnya yang cowok jika ingin menggembel di sana. Sepertinya tiduran sembarangan masih mungkin untuk dilakukan ketimbang menyewa hotel yang harganya menjulang.

Sampailah kami di sebuah masjid megah dengan hiasan lampunya yang menawan. Itulah masjid Sultan, salah satu masjid besar yang berdiri megah di Singapura. Meskipun negara itu adalah bidak kapitalisme yang dijaga baik-baik oleh Inggris dan seluruh negara sekutu, setidaknya geliat cahaya Islam telah tumbuh untuk mewarnai hedonisme yang lebih lama berkembang di sana. Dan yang membedakan kualitas masjid di Indonesia dengan di luar negeri adalah toiletnya. Di Malaysia maupun di Singapura, toiletnya sangat nyaman untuk mandi maupun bongkar muatan. Di Indonesia? Ini adalah evaluasi untuk dewan ketakmiran masjid untuk memberikan kenyamanan bagi para jamaahnya.

doc. pribadi

doc. pribadi

Usai bersih-bersih badan kami segera bergabung dengan jamaah yang lain untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Seorang imamnya yang masih sangat muda melantunkan satu rukuk ayat-ayat Quran untuk setiap rakaatnya. Nada qiraatnya yang mirip Syaikh Sa’ad al-Ghamidi membius perasaan kami di pagi hari itu. Luar biasa, beginilah shalat subuh dari puluhan jamaah di negeri seberang. Suasana yang jarang kami dapati di Indonesia.

Sambil menghabiskan waktu menunggu matahari terbit, kami bertilawah. Kemudian lagi-lagi aku lanjutkan pelajaran fotografinya dengan ornamen-ornamen hiasan Masjid Sultan. Melihat burung-burung yang begitu damai berkicau di sekitar kawasan itu. What? Jika ini di Indonesia tentu sudah diburu dengan bedil. Nah, pelajaran berikutnya adalah kota yang bagus adalah yang membuat para penghuninya, tak hanya manusia dapat merasakan kenyamanan. Burung-burung jalak dan beberapa jenis burung langka di tempat kita ternyata masih hidup damai di kota sebesar ini. Mereka tidak takut kepada kami saat kami beri potongan roti-roti yang kami beli dari Indonesia untuk bekal pendukung ENERICE dan ENERSOY.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.