Pamitan Kepala Kampung

Kami tinggal punya kesempatan 3 malam lagi di sini. Di awal-awal masa silaturahim dahulu, orang yang paling tidak bisa kami temui adalah kepala kampung Samburakat. Kalau di Jawa ia setingkat kepala Desa. Hanya saja di kabupaten Berau ini, tingkatannya dari Bupati, Camat, langsung ke kepala Kampung. Kepala kampung membawahi beberapa RT. Dari RT langsung ke para warga. Jadi struktur birokrasi di masyarakat ini lebih sederhana di bandingkan di Jawa.

Malam ini akhirnya kami bisa berkunjung ke tempat beliau. Kesibukan beliau yang kerap ke Tanjung Redep untuk urusan dinas maupun keluarga membuat pekan pertama masa-masa silaturahim kami tertunda. Akhirnya malam ini kami bisa berdiskusi hangat dengan beliau sekaligus pamitan karena hari Kamis depan kami sudah akan berangkat kembali ke tanah seberang, Zona Medina Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa.

Dari diskusi hampir satu jam dengan beliau aku mendapati beberapa informasi kunci untuk pemetaan kekuasaan yang ada di kampung ini. Pada prinsipnya, kampung ini sudah tergolong kampung yang mapan dalam soal administrasi dan kegiatan kemasyarakatan dibandingkan dengan beberapa kampung lainnya di kecamatan Gunung Tabur. Hal itu memang tampak dari kegiatan ibu-ibu PKK yang kukunjungi kemarin, komentar dari beberapa pegawai kecamatan, dan fasilitas yang tersedia di sana. Selain itu, kegiatan pemuda yang sifatnya umum seperti olah raga dan hajatan juga sudah berjalan. Hanya saja soal masjid, lagi-lagi memprihatinkan. Nggak di Jawa, nggak di sini, yang namanya masjid kampung itu sepi, dan biasanya yang jamaah ya itu-itu saja sebagai sebuah klan keluarga mulai dari bapak, anak, hingga cucu.

Selain itu, ternyata pak kepala kampung adalah tipikal wirausahawan yang lebih menyukai aktivitas penduduk berkebun dan berwiraswasta di tanah yang tersedia ini dari pada menjadi pegawai tambang. Beliau juga menjelaskan hak pakai tanah di sini. Ternyata memang sangat mudah karena tanah yang tersedia sangat luas. Penduduk pendatang yang mau membabat hutan yang ada di lingkungan kampung untuk tempat tinggal dan berkebun dipersilahkan selama tidak menjamah kawasan hutang yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung. Di sini tanah tidak ribet diukur-ukur seperti di Jawa. Tinggal pakai saja jika mau, jika suatu saat bermasalah tinggal pindah tempat saja. Haaa? Simpel sekali ya. Tapi apakah ini bagus? Kita lihat saja nanti.

Hal positif lain yang tergali dari beliau adalah keinginannya untuk menjadi teladan bagi warganya soal pendidikan dan pencerdasan masyarakat. Kedua anaknya dapat sekolah di sekolah unggulan kabupaten tersebut. Tentu saja ini menunjukkan adanya upaya serius dari beliau untuk mengarahkan anak-anaknya sendiri sebelum akhirnya ditularkan kepada masyarakat sekitarnya mengingat hasil asesmen kami selama di sini menunjukkan bahwa motivasi belajar anak-anak di sini masih kurang karena banyak faktor. Jadi mungkin upaya yang beliau lakukan diharapkan dapat menginspirasi warga yang lain untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Satu kaleng minuman cincau habis kutenggak untuk mengakhiri silaturahim sekaligus pamitan malam ini.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.