Pagi Buta di Bandara Soekarno-Hatta
Tak seperti biasanya, jam 1 pagi kantor Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa tampak sedikit ramai. Geliat kesibukan tampak dari aktivitas beberapa anak muda yang sedang mengangkut koper-koper untuk dibawa ke dua mobil yang terparkir dengan mesin yang hidup. Rupanya pagi itu akan menjadi pagi terakhir mereka di kota hujan itu.
Sesaat setelah itu, kedua mobil pun melaju melintasi pagi buta kota Bogor yang masih tetap ramai. Aku tertidur sepanjang perjalanan. Dan tiba-tiba saja aku terbangun setelah melihat kerlap-kerlip lampu di papan nama yang bertuliskan “Bandara Soekarno-Hatta“. Akhirnya aku ke tempat ini lagi setelah terakhir kali tempat ini aku kunjungi usai berkelana di negeri seberang, Jerman di tanah Eropa sana.
Mungkin itu hal gila, jam 2 pagi kami menikmati sesi foto-foto bak artis dengan memegang banner yang bertuliskan Marching for Boundary. Terselip rasa kebanggaan, tetapi sekaligus ada kekhawatiran di hati tentang kabar pulau seberang yang akan kami kunjungi. Imajinasi tentang pedalaman dan sulitnya hidup sesekali berkelebat dalam benakku. Ah, itu kan memang tujuanku berkunjung ke tanah impian itu.
Jadwal take off-ku bersama teman seperjuanganku dari UNSRI, Musthopa masih jam 6.10 WIB. Kami memutuskan untuk menambah jam tidur kami di dalam ruang boarding bandara tersebut. Tak nyenyak tidur kami, karena dinginnya AC yang lebih mirip blower musim dingin itu membuatku geragapan dan menggigil. Tetapi setidaknya masih mendingan untuk mengobati rasa bosan dalam menunggu. Maklum, dua malam aku berada di ruangan ber-AC dan tempat tidur empuk yang membuat perutku kembung terus-terusan. Dasar katrok, memang. Karena aku sudah terbiasa tidur terbaring di alas kasar bertahun-tahun.
bersambung …