Balikpapan Menyambut Kami
Setelah menunaikan sholat Subuh yang sempat sedikit terlambat (karena tidur tadi) kami pun masih menunggu jadwal keberangkatan pesawat dengan bosan. Beruntung kami tertidur lagi dan bangun saat waktu kurang 10 menit dari jadwal boarding untuk memasuki pesawat. Segera kami berdiri di antrian panjang di sambut para pramugari cantik dan pramugara yang beberapa di antaranya terlihat mirip tingkahnya dengan pramugari (tahu kan maksud saya).
Sebuah maskapai nasional (tapi bukan si biru gagah itu) membawa kami terbang meninggalkan pinggiran ibukota itu menuju kota impian yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, Balikpapan. Baru kali ini aku merasakan betapa membosankannya naik pesawat. Dulu ketika ke Padang aku merasa begitu surprise dengan hadiah tiba-tiba itu ketika dua temanku yang cantik datang berlari-lari memberikan uang transport untuk kami yang akan menuju babak final sebuah lomba karya tulis ilmiah. Ah, ternyata kenikmatan itu hanya di awal saja bukan, setelahnya akan membosankan. Kecuali satu nikmat saja yang kata Allah tidak akan pernah mengalami kebosanan, yakni Syurga.
Sepanjang jalan kulihat awan putih. Kami laksana para dewa yang sedang terbang mengitari dirgantara. Oh inilah teknologi manusia yang telah membuat banyak orang berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam waktu yang singkat. Deretan awan putih itu pun perlahan mulai hilang dan tersibak apa yang ada di sebaliknya. Sebuah daratan yang berbatasan dengan laut. Ada kapal-kapal yang hendak berlabuh dan beberapa titik yang menunjukkan adanya kawasan pemukiman. Itulah kota Balikpapan. Dan segera saja pesawat kami mendarat di Bandara yang terletak tepat di bibir pantai kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Ku pandangi lekat-lekat tulisan Bandara Sepinggan yang pada bangunan utamanya masih menyiratkan gaya arsitektur khas bangunan Kalimantan. Corak yang mulai tertutupi dengan modernisasi bangunan lainnya sehingga ia tidak lagi dominan seperti Bandara Minangkabau yang megah dalam gaya rumah gadangnya atau Adisumarmo dengan gaya rumah joglonya. Begitukah arti pembangunan dan modernisasi yang menghilangkan nuansa lokal yang indah itu? Ah, itu keluhku ketika di bandara Sepinggan.
Kami pun memutuskan untuk berkeliling dahulu di kawasan bandara. Hawa panas seperti sauna cukup membuat kami berkeringat hingga sesekali kami berjalan masuk kembali ke bandara untuk mendinginkan diri. Tak sengaja kami berjumpa dengan seorang berseragam polisi yang mirip seperti pelawak Tarzan. Perkenalan kami membuatku tahu bahwa dia orang Solo, yang asal-usulnya sangat dekat dengan tempat kosanku pertama kali. Ah, lagi-lagi sama, polisi yang tajir itu memberiku kartu nama berisi penginapan yang dimilikinya. Beres bos, kalo ada yang mau ke Balikpapan nanti biar nginap di rumah Bapak saja ya. Tapi jangan lupa persenannya buat saya. Perkenalan penuh basa-basi ini tak ubahnya bagiku sebagai pembukaan jaringan baru sekaligus lahan jadi calo. Jika aku mau.
bersambung …