Perjalanan ke Pulau Derawan
Usai acara perpisahan kami memantapkan diri menuju salah satu kawasan wisata andalah kabupaten Berau di Kalimantan, kepulauan Derawan. Setelah mendapatkan pinjaman motor dari Pak Ismoyo dan Pak Asrie, kemudian koneksi untuk memperoleh jasa speed boat yang terjangkau akhirnya petualangan kami di akhir program ini pun dilakukan. Mas Baihaqi tentu saja tak mau ketinggalan, beliau turut serta dalam perjalanan yang spesial ini. Diiring restu dari para guru yang selalu memprovokasi kami bahwa tidak dikatakan kami ke Berau jika belum berkunjung ke Derawan, kami meluncur siang itu.
Untuk menuju ke pulau yang kata orang menakjubkan itu. Kami harus menaklukkan jalan darat dari Samburakat, kecamatan Gunung Tabur menuju pantai Tanjung Batu di Kecamatan Pulau Derawan. Jalan darat dengan liku-likunya yang mengular dan hutan lebat nan seram di sekelilingnya adalah pemandangan yang harus kami lalui. Awalnya tampak indah, tetapi lama-lama membosankan juga karena hampir 2,5 jam perjalanan kami melalui pemandangan monoton itu, meskipun sesekali kami melewati kawasan hutang yang dibakar dan ditebang.
Satu persatu kampung pun kami lewati. Mulai dari Sambakungan, Batu-Batu, kemudian Merancang, kemudian Kasai. Setelah itu kami mulai memasuki Kecamatan Pulau Derawan dengan kampung pertamanya Teluk Semanting, barulah kampung Tanjung Batu. Aku membayangkan betapa luasnya ukuran kecamatan di sini. Untuk ukuran jawa, perjalanan 2,5 jam di atas aspal mulus seperti ini sudah melewati 2 kabupaten. Akhirnya kami telah berdiri di atas dermaga Tanjung Batu yang gagah dan indah itu.
Ternyata pak Jordi, kawan pak Ismoyo telah menunggu kedatangan kami untuk menuju pulau yang pernah menjadi mimpi di benakku itu. Sore ini aku akan menerima kenyataan bahwa pulau imajinatifku itu akan menjadi kenyataan. Kata orang itu pulau yang berair jernih, indah, dan ada penyu-penyunya. Semua masih angan saat aku berada di Tanjung Batu itu. Tetapi aku yakin bahwa kenyataan akan keindahan pulau itu akan kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
Sudah hampir 45 menit speed boat berjalan di atas air. Ini kali pertama pengalamanku menaiki kendaraan air yang mini ini. Rasanya seperti ketika aku berpetualang di daerah Blora Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Ternyata gelombang laut yang bergesekan dengan permukaan kapal membuat efek seperti melewati jalan-jalan terjal. Mas Bayu yang jadi sopir speed boatnya tampak begitu terampil menyetir speed boat itu untuk kami. Tampangnya yang gagah dengan kacamata hitam memberi garansi bahwa perjalanan ini insya Allah aman dengan izin-Nya.
Pemandangan baru di pantai pun kami jumpai mulai dari rumah-rumah yang dipancang di atas kapal hingga mercusuar yang berdiri di kejauhan. Rumah-rumah yang dipancang di tengah laut yang dalamnya puluhan meter. Cukup membuat penasaran mengingat rumah-rumah itu tampak kokoh meskipun hanya disokong kayu. Akhirnya Mas Baihaqi mengobati penasaran kami dengan bertanya ke mas Bayu. Jawabannya sederhana, ternyata ada pemancang tak terlihat yang beratnya berpuluh-puluh ton dari kumpulan pasir yang dibenamkan ke dasar laut untuk menjaga kestabilan rumah-rumahan di atasnya. Cerdas, ide yang tidak terbayang sedikitpun di kepala mahasiswa fisika ini. Masyarakat di sini tidak perlu belajar fisika secara teori untuk mendapatkan ilmu itu.
Dan sampailah kami di pulau yang mungil nan indah itu. Lautnya tenang dan airnya jernih. Kami diinapkan di sebuah hotel terjangkau yang menjorok ke laut. Jika kami ingin berenang atau menyelam, tinggal ganti baju dan meloncat dari depan penginapan kami. Ikan-ikan kecil berwarna-warni tampak berkeliaran. Sesekali penyu dalam ukuran besar berenang di sekitar penginapan dan menyembulkan kepalanya ke air. Indahnya, inilah salah satu karunia Allah agar manusia menjaganya di muka bumi ini.
Aku pun terus menghabiskan sore ini memandang suasana senja di dermaga. Menatap laut lepas nan luas. Maha besar Allah, aku merasa sebagai manusia yang sangat kecil di tepian pulau yang ternyata hanya sebatas titik dalam peta negara kepualauan yang besar ini. Aku merenungkan bahwa kapal yang sangat besar itu pun ternyata hanya menjadi noktah kecil yang mengapung-apung di atas samudera. Tak berdaya sekiranya Allah memerintahkan air laut menjadi tsunami dan mengoyaknya.
bersambung …