Sesuai agenda yang telah di sepakati dengan bu Nurma, kami merencanakan pada hari Sabtu pagi untuk mengunjungi Berlin, ibu kota Jerman. Yah, maklum mumpung lagi di Jerman, tiap akhir pekan benar-benar akan kami waktu libur ini untuk berangkat ke tempat-tempat spesial di negeri ini meskipun terkadang cuaca tidak mendukung perjalanan, apalagi musim dingin seperti ini. Dan seperti halnya hari ini maka inilah perjalanan gila kami untuk mewujudkan mimpi ke kota Berlin.
Setelah malam harinya makan malam dan berdiskusi panjang dengan Reihan dan kawan-kawannya, kami masih menyempatkan diri untuk mengupdate facebook kami dan memberikan pancingan kepada kawan-kawan di Indonesia tentang sebuah foto gadis cantik yang sebenarnya sangat biasa di sini tetapi barang langka di Indonesia. Meskipun kecantikan relatif, tetapi perspektif laki-laki pasti memiliki kesamaan. Ha ha ha. Sotoy banget.
Rela Jalan Kaki
Karena kami harus sampai di Wuppertal Hbf sebelum jam 5.30, maka kami segera menuruni bukit Wuppertal dari jam 4.00. Jalan kaki? Ya iyalah, kan tiket WSW kami berlaku di seluruh kawasan Wuppertal mulai dari jam 9.00 – jam 03.00 dini hari. Padahal jaraknya lumayan jauh. Hampir 1 jam 15 menit kami berjalan terus menuruni bukit hingga sampai di pusat kota, tepatnya di stasiun utama (Hauptbahnhof).
Yah, demi sebuah perjuangan, maka hal gila seperti ini akan menjadi masuk akal. Di tengah suhu yang terus bermain pada angka 2-5 derajat maka ini juga merupakan perilaku mahasiswa yang kurang kerjaan. Begitulah kekuatan mimpi, ketika telah terpancang di hati maka apa pun yang terjadi akan tetap diredahi. Apalagi nanti untuk perjalanan ke Berlin, karena kami hanya menggunakan tiket akhir pekan yang berharga 40 euro untuk 5 orang berlaku dari jam 00.00 – 03.00 hari berikutnya untuk semua wilayah Jerman dengan semua angkutan pemerintan mulai dari bus hingga kerta api regional. Di samping harus gonta-ganti kereta ketika di berhenti di setasiun tiap-tiap kota, kami juga akan menikmati perjalanan yang sangat lama. Hampir 9 jam perjalanan. Sebenarnya ada cara yang lebih cepat sih, dengan naik kereta ICE (Inter City Express) hanya 3 jam, cuma tarifnya berkali-kali lipat. Bayangkan saja, sekali jalan ke Berlin, 55 euro. Belum nanti di sana harus membayar bus dan angkutan lokalnya. Yah, itu bukan kocek mahasiswa banget.
Berbekal pengalaman pahit waktu salah turun stasiun di Muenster, kali ini kami lebih cermat dan sigap. Begitu sampai di stasiun, kami langsung mengeprint lembar informasi perjalanan sampai berlin. Sehingga setiap waktunya jelas kami harus ganti kereta di stasiun mana saja dan di jalur nomor berapa pada jam berapa. Yah, kami merasa hari ini lebih baik, meskipun hawanya tetap saja dingin. Kami juga tidak ingin mengecewakan bu Nurma, dosen kami (yang lagi ngambil Ph. D. di sini) yang selalu setia menemani perjalanan kami, bahkan mungkin sudah seperti kakak kami sendiri.
Sisi Jerman yang Lain
Kereta yang kami naiki pun terus bergerak ke utara kemudian ke Timur. Dan kami pun bisa melewati kota-kota lain di Jerman yang sudah di luar regional negara bagian NRW (Nord-Rhein Westfalen). Yah, seperti kata orang-orang yang sudah ke Jerman, makin ke timur, terlihat kondisinya semakin berbeda dengan di Barat. Jerman barat, khususnya NRW merupakan daerah terkaya dan paling baik di Jerman, seperti halnya di utara (Hamburg), selatan (Frankfurt, Stuttgart, Munchen). Daerah di timur ini (kecuali Berlin) sedang diakselerasi agar mengalami kemajuan pembangunan seperti zona barat. Satu demi satu, kota yang dulu hanya kubaca di peta itu pun terlewati, Dortmund, Hamm, Hannover, Magdeburg, Postdam, semua memberi cerita tersendiri bagi kami.
Perbedaan yang mencolok antara kawasan NRW dengan setelah-setelahnya adalah sering terjadi pemeriksaan tiket kereta. Di NRW sepertinya kesadaran masyarakat sudah tinggi sehingga mereka itu tidak lagi seperti orang Indonesia yang pengin cari gratisan, sehingga pemeriksaan tidak dilakukan setiap saat, hanya sesekali waktu. Dan aku yakin sangat jarang akan ditemukan orang-orang yang hobi nyari gratisan dengan naik tanpa karcis di kawasan NRW. Tapi semakin ke timur pemeriksaan sering terjadi, sehingga kami berlima harus selalu duduk berdekatan. Karena, ketahuan tidak punya tiket kereta atau pake tiket basi, maka dendanya adalah 40 euro di tempat.
Hal konyol yang selalu kami lakukan adalah menyempatkan berfoto-foto ketika sampai di stasiun, kami keluar dan mengambil foto di depannya. Karena setiap stasiun (Hauptbahnhof) di sini memiliki karakteristik bangunan yang berbeda-beda. Demikianlah hal aneh yang kami lakukan jika jarak tunggu antar kereta di atas 10 menit. Dan sampailah kami di sebuah tempat yang sangat megah, Berlin Hauptbahnhof.
Pertama kali keluar dari kereta, aku kagum, ini mall apa stasiun. Karena ternyata ada 4 lantai yang masing-masing lantai adalah jalur kereta. Jadi bentuknya bertumpuk-tumpuk dari yang paling atas sampai yang lewat bawah tanah. Wow, di sini itu kalo bagian atasnya kelihatan rapi dan banyak gedung-gedung bertingkat sebenarnya bawahnya itu sampai lapis dua tingkat untuk kereta bawah tanah. Beda banget dengan DKI Jakarta. Semoga Jokowi bisa meletakkan dasar pembangunan ke depan dengan lebih baik. Amiin
…. bersambung