Salah satu keuntungan bersama profesor di luar negeri itu adalah kita dapat mengakses tempat-tempat penting di sebuah negara. Kata bu Nurma, di Jerman, seorang profesor itu benar-benar mendapatkan tempat yang luar biasa dihormati. Beliau pernah ke toko printer untuk membeli printer buat dirinya, ketika menyerahkan permohonan dilampiri surat yang ditanda tangani profesornya, maka dia dapat membawa printer itu gratis tanpa uang sepeser pun. Karena nanti pihak toko akan mengonfirmasi pembayarannya ke universitas tempat profesor itu mengajar.
Lain cerita dengan kami. Hari ini kami dapat berkunjung ke sebuah sekolah terbaik dan terbesar di negara bagian NRW, yaitu Carl-Fuhlrott-Gymnasium. Sekolah ini memiliki siswa hampir 2000-an orang.Tentang sejarah dan sekolahnya langsung meluncur aja ke rumah onlinenya di sini. Ketika kami sampai, sapaan ramah dari para guru luar biasa. Ternyata orang Jerman itu ramah-ramah lo, bahkan lebih ramah dari orang Indonesia di akhir-akhir ini. Sebuah sekolah yang memiliki otoritas besar dalam menjalankan pendidikannya dapat kami masuki dengan nikmat untuk bergabung di kelas-kelas dan mengikuti pelajaran para gurunya. Inilah enaknya bersama Prof. Tausch.
Agenda pertama kami adalah berdiskusi dengan salah satu waka, karena kebetulan kepala sekolahnya yang juga seorang Profesor belum bisa hadir. Kami dijamu minuman dan diskusi cukup panjang. Bahkan kami difoto oleh mereka (karena di sekolah kami tidak diperkenankan untuk merekam apa pun dengan cara apa pun). Beliau bercerita tentang fasilitas sekolah ini, sebagai sekolah yang terbesar di negara bagian NRW, sekolah ini memiliki lebih dari 40 ekstrakurikuler. Selain itu sekolah ini memiliki banyak fasilitas lengkap, salah satunya ada 7 teropong yang dipasang di lantai paling atas untuk astronomi. Wah keren banget. Hemm, dan ternyata sekolah-sekolah di Jerman standarnya seperti ini. Tidak ada istilah sekolah unggulan dan tidak unggulan, di sini kualitas sekolah tidak terlalu jauh berbeda karena semua dijamin oleh negara.
Kemudian kami diizinkan masuk mengikuti pelajaran di kelas selama 3 sesi. Ternyata Gymnasium ini dimulai dari kelas yang sangat rendah. Kebetulan aku 2 kali masuk dapat kelas matematika untuk grade V yang rata-rata usianya 10 tahun. Imut-imut banget, mirip balita kalo di Indonesia. Pengin mencubit pipinya yang putih dan imut. Mereka juga lucu-lucu tingkahnya. Di kelas terakhir aku masuk ke kelas fisika untuk grade 12, yang ini udah gedhe-gedhe. Udah pada modis.
Hal yang berbeda di sini adalah sejak kecil anak-anak selalu bertemu guru yang interaktif. Guru-guru di sekolah ini pasti harus interaktif sehingga siswa sejak awal sekolah terbiasa mengangkat tangan untuk berpendapat atau menjawab pertanyaan. Yah, aku kagum dengan keaktifan para siswanya meskipun sebenarnya aku ga mudeng dengan bahasa mereka. Roaming berat, karena Jerman only.
Dalam hal seragam, mereka tidak berseragam seperti kita. Namun karena sekarang musim dingin, alhamdulillah pakaian-pakaian mereka tertutup dan sopan-sopan seperti di tempat kita. Kata bu Nurma, kalo lagi musim semi dan musim panas, bisa-bisa tiap hari cuma error ngelihatin para tengtoper yang berkeliaran. Masalahnya orang Indonesia seperti aku ini belum terbiasa lihat seperti itu pasti bakal jadi masalah. Nah, beruntung ke sini sebulan hanya ketika musim dingin, jadinya tidak terlalu menjadi masalah. Nanti kalau jadi kuliah di sini, udah beda lagi cerita dan persiapannya.
Di Jerman sistem penilaian itu terbalik. Rentang nilai itu dari 1 – 6. Nilai 1 adalah nilai terbaik, dan nilai 6 adalah nilai terjelek. Jadi teringat latahnya mas Ferdi, di sini kalau kuliah, yang belajar keras saja biasanya cuma dapat 2, apalagi tidak belajar atau belajar biasa-biasa aja, paling 3-4. Tapi kalo dapat nilai 3 atau 4 malah akan dipuji-puji di Indonesia waktu baca transkrip nilai ketika yang lihat orang yang belum mengerti sistem pendidikan di Jerman. Seperti halnya di Indonesia, ketika hasil ulangan dibagikan, ada siswa yang teriak karena mendapat nilai 1, yang lain ada yang menyembunyikan erat-erat kertas ulangannya karena dapat angka gedhe. Wah-wah, lucu-lucunya meraka.
Ketika di kelas aku pingin ketawa abis. Aku jadi ingat dengan diskusi dengan salah satu karibku waktu di Indonesia. Simbah-simbah kita kadang kagum melihat anak-anak kecil di Inggris udah pandai bahasa Inggris (ya iyalah mbah, wong itu bahasanya). Demikian juga di sini, seakan-akan aku mendengar ada orang tua di negeri kita berkata, eh anak-anak masih kecil udah pandai bahasa Jerman. Ya iyalah, secara wong itu bahasa tiap hari mereka.
Dan kunjungan pun berakhir ketika waktu menunjukkan pukul 1 siang. Mr. Claus, guru olahraga mengantar kami sampai halte terdekat. Namun sebelumnya kami sempat berjabat tangan dengan kepala sekolah. Namun karena beliau sangat sibuk, beliau tidak dapat menemani kami. Sebuah kenang-kenangan kecil dari Indonesia kami serahkan kepada Mr. Claus untuk CFG.