Setelah mengudara hampir sama lamanya dengan waktu perjalanan pertama kami. Akhirnya si burung besi ini mendarat di Bandara Internasional Dusseldorf, salah satu kota besar di Jerman. Begitu kami keluar dari pesawat kami langsung di sapa dengan hawa yang sangat dingin. Yah Eropa menyambut kami dengan hawa yang sangat mencekam ini. Namun, itu semua kalah oleh rasa syukurku bisa menjejakkan tanah di tempat yang mungkin bagiku dulu hanyalah antah berantah. Sebuah dunia baru yang pasti sangat berbeda dari negeri kelahiranku nun jauh di sana.
Aku sadar bahwa ini adalah dunia baru ketika aku ke toilet. Di sini tidak ada gayung dan bentuk toilet mangkring seperti di Indonesia. Akhirnya kau hanya kencing dan tidak jadi mbeol. Padahal aku sudah menahan di pesawat karena banyaknya makanan yang kami makan. Memang salah kami sih selalu memakan apa yang datang dari nona-nona pramugari yang cantik itu. Ya Allah, semoga nanti tidak bocor di tengah jalan. Akhirnya aku memilih duduk menunggu dosen kami yang tengah mengambil Ph. D.-nya di Eropa. Dan ternyata rasa ingin beolnya lupa setelah melihat indahnya Eropa.
Setelah sempat kebingungan karena tidak bisa menghubungi Ms. Nurma, dosen kami, akhirnya ada salah satu pengunjung bandara yang mau meminjamkan handphone-nya untuk menghubungi beliau. Dan tak lama kemudian beliau datang bersama suaminya membawa sebuah barang besar mirip koper yang ternyata itu adalah bed tambahan yang disediakan untuk kami karena kamar untuk yang putra hanya ada satu bed saja.
Segeralah kami menaiki sky train sebuah kereta yang relnya ada di atas dan di bawah. Kereta gratisan yang disediakan bandara untuk menuju tempat-tempat strategis di sekitar bandara. Akhirnya kami sampai di stasiun dekat bandara Dusseldorf dan memesan tiket untuk ke Wuppertal, tempat tujuan dan tinggal kami selama sebulan nanti. Bersamaan dengan itu kami sempat melihat matahari terbit. Ternyata tidak jauh beda dengan daerah kami. Hanya saja hawanya di sini, dingin sekali, sudah bercelana rangkap 2, berbaju lapis 3, bersarung tangan dan berslayer serta berkupluk hawa dingin itu sesekali masih dapat menembus jaring pertahanan tubuhku.
Tak seperti di Indonesia, kereta di sini sangat cepat lajunya dan sangat tepat waktu datangnya. Bentuk keretanya juga lebih bagus dan rasanya lebih nyaman. Kami bisa menempatkan koper-koper kami yang besar dengan mudah tanpa banyak mengganggu kenyamanan penumpang lain. Dan yang pasti jumlah penumpang setiap kereta tidak sampai overload seperti di Indonesia. Yah, lagi-lagi ini pelajaran yang berharga bagi bangsa kita tentang bagaimana melayani dan memberikan apresiasi atas karya bangsa sendiri.
Di sepanjang jalan menuju Wuppertal kulihat indahnya desa dan perkebunan yang pohonnya mulai gugur daunnya karena musim dingin yang akan semakin menuju puncaknya. Sebenarnya tak jauh beda dengan desa-desa di Indonesia, bahkan rumah-rumah mereka mungkin dari luar lebih jelek dari tempat kita. Rumah-rumah di sini kecil-kecil tidak seperti rumah daerah kita yang mewah-mewah dan kadang suka bermegah-megah. Benar seperti yang dikatakan Prof. Ajid, di sini orang yang punya rumah pribadi mungkin hanya para guru besar yang usianya sudah mencapai 60an tahun, dan masyarakat lebih memilih flat atau apartemen yang mirip dengan rusunawa Indonesia. Dari luar bentuknya sama, tapi pola hidup masyarakatnya lah yang membuat dua hal sama tadi menjadi berbeda.
Ada yang mengagumkan, ternyata ada sisa-sisa salju yang masih tercecer di pinggir jalan. Bentuknya seperti es serut atau es gosrok. Putih dan sangat lembut. Keindahan-keindahan itu membuat kami tak sadar bahwa kami telah sampai di stausiun pusat di kota Wuppertal. Kami segera keluar dan menunggu bus yang akan mengantar kami ke Bergische Universitat Wuppertal, tempat di mana Prof. Taucsh yang mengundang kami berada.
Lagi-lagi adalah cerita tentang layanan yang memuaskan. Di sini ternyata semua bus telah memiliki jalur masing-masing dengan jarak kedatangannya relatif singkat hanya berselang tiap 20 sampai 30 menit. Setiap bus telah dilengkapi dengan sistem IT yang baik sehingga setiap penumpang tidak perlu repot-repot membayar uang receh tiap turun seperti di Indonesia, maka jangan membayangkan bahwa bus-bus di sini itu ada keneknya. Semua berjalan dengan cepat dan sampai di pemberhentiannya tepat waktu. Dan sampailah kami pada universitas yang dulu hanya bisa kuakses lewat website www.uni-wuppertal.de saja.
Waktu kedatangan bus pun sudah ada waktunya. Kalau mau turun bus tidak perlu teriak2 minta “stop” karena di samping atau depan bangku penumpang ada tombol “stop” kalau mau berhenti tinggal tekan, tp bus akan stop di halte saja :).
haduuuh mas Ardikaa.. jd mengingatkan saya waktu pertama kali mendarat di Dusseldorf dngan kebingungan dan diendus2 anjing pelacak segala gara-gara bumbu rendang dikoper #haduuh,nih anjing doyan makanan Indonesie juga ;p # Wah, kuliah apa mas di sana? baidewe, salam kenal.. 🙂
Cuma student exchange sebulan mbak di Wuppertal