Zahra, demikian nama adikku kini telah genap berusia 4 tahun. Kecantikannya mulai bersinar seperti ibunya. Rambutnya yang panjang bak mayang mengurai teramat menarik menghiasi si gadis lincah yang tengah menikmati masa balitanya untuk belajar dan berlari. Aku melihat kecerdasannya dalam merespon sekaligus kemanjaannya yang luar biasa dengan menjadikan tangis adalah senjata sekaligus hobinya yang menyehatkan.
Namun aku merasa khawatir dengan lingkungannya yang sangat kurang mendukung. Ibuku yang kebetulan juga masih dalam proses belajar panjang, agar mau berhijab sebagaimana seharusnya muslimah tentu masih sulit untuk dijadikan pegangan Zahra dalam berpakaian. Sedangkan di luar sana, hampir tidak ada yang bisa ia lihat sebagai teladan dalam berpakaian, kecuali jika sesekali sahabat-sahabat akhwat dari UGM datang untuk mengadakan pelatihan ibu-ibu di rumahku. Itupun terkadang Zahra memilih bermain dengan sepupunya yang cowok dan hiperaktif sehingga aku selalu khawatir jika kedepan dia mulai hilang kelembutannya karena terbawa lingkungan yang keras karena terlalu banyak geng cowoknya.
Hanya ada satu tempat yang kata ibu bagus buat dia belajar dan bermain, namun terkadang ibu merasa tidak enak karena sering merepotkan (tentu karena Zahra yang sangat hiperaktif itu akan membuat suasana belajar yang biasanya tertib jadi sedikit ngacau), jadi ibu urung untuk setiap hari mengantar ke rumah tetangga yang sebenarnya juga guru PAUD-nya. Anaknya juga cerdas dan terarahkan dengan baik oleh ibunya. Sayangnya rumahnya cukup jauh dari rumahku.
Kadang aku mikir, sekarang aku jarang pulang. Sesekali hanya melalui telepon ketika menanyakan kabar. Ayah terlalu sibuk dengan urusan sekolah dan koperasinya. Terkadang aku kasihan melihat ibu yang sedemikian sayang pada Zahra, namun juga kewalahan mengkondisikannya dalam lingkungan yang ada.
Melihat penampilan gadis-gadis kecil sepantarannya sungguh bikin aku mengelus dada. Pakaian yang ketat dan super pendek. Mode-mode artis cilik. Ah kenapa sekarang di desa jadi seperti ini. Trus adik ponakanku yang putra juga tidak kalah membuatku geleng-geleng kepala lantaran juga bernasib sama akibat dua orang tuanya terlampau sibuk dalam urusan pekerjaan. Ibukulah yang harus terkadang tersulut emosinya untuk marah-marah mengurus dua anak kecil yang sering bermain bareng sekaligus bertikai. Bagi David, demikian nama keponakannku, dia harus selalu menerima marah ibuku. Bagi Zahra, dia jadi mahir menendang dan memukuli karena tiap hari belajar dari David. Serba salah.
Seandainya saja ada sekolah Islam Terpadu terdekat, tentu aku akan merasa lega. Saat ini baru dirintis TK IT jauh seberang desa, namun itu pun belum bisa menarik kepercayaan ayah untuk memasukkan Zahra ke sana. Ah, kadang terlontar ide konyol di kepalaku, apakah harus ada kakak perempuan yang selalu membersamai Zahra? Yang pasti aku tidak ingin Zahra mengalami perkembangan yang lambat dalam masalah pemahaman agama karena terkendala lingkungan dan keterbatasan ibuku dalam membimbingnya. Aku berharap Ibu diberi kemudahan untuk belajar hingga bisa segera membaca Quran dan mengerti banyak tentang fiqih dari kajian yang beliau ikuti sedapatnya ketika mbak Indah datang.
Zahra yang berhijab, adalah impianku setelah Yusuf yang dulu juga hiper aktif sekarang telah menjelma menjadi santri yang lembut dan rajin di sebuah pesantren modern yang didirikan langsung oleh KH. Ahmad Dahlan di awal-awal berdirinya Muhammadiyah. Bagaimana dengan Zahra? Aku berharap dia kelak menjadi permata muslimah di dusunku yang akan menjadi pembawa perubahan bagi para muslimah di wilayahku, daerah yang kering dari ghirah belajar agama dan semangat shalat berjamaah.
Dia sekarang baru 4 tahun, tapi apakah terlalu berlebihan kekhawatiranku ini? Aku merasa harus khawatir sejak sekarang, karena dia memiliki banyak hal yang lebih dibandingkan anak-anak perempuan seusianya di desaku. Semoga Allah senantiasa menjaganya lewat tangan-tangan orang yang terbaik nanti. Tentang kakak perempuan untuk Zahra, ada banyak cara yang bisa Allah takdirkan untuk harapan itu. Semoga Zahra selalu dijaga oleh-Nya. Salam cinta dari kakakmu adikku sayang.
nice –
terima kasih