Hawa dingin pagi masih terasa di badan. Kata orang jawa bikin badan terasa “gemereges”. Rasanya ingin tidur saja lagi sampai nanti siang. Tapi rasanya tidak bisa, karena pagi itu ada sesuatu yang spesial. Yaitu temu alumni Pondok Pesantren Al-Ikhlas Wonosari. Sambil menunggu kawan-kawan yang akan berangkat dari rumahku aku sempatkan diri untuk menikmati udara pagi dan menulis beberapa cerita yang belum sempat kutuliskan.
Ahaa, ketika selesai mengerjakan kemudian aku mandi, datanglah dua kawanku yang keren. Yang satu seorang calon sarjana yang suka desain grafis. Yang satu seorang pengangguran produktif (saking produktifnya dia baru saja membeli Vario baru hasil nganggurnya sebulan di depan PC). Lha aku, yah ga tahulah, mungkin ga jelas juga aktivitasnya. Yang penting bermanfaat dah aktivitasnya.
Menuju Madrasah Kenangan
Diiringi basmallah dan doa di surat Az-Zukhruf : 7-8 kami bertiga meluncur ke madrasah kenangan kami yang terletak di sebalik kemegahan Masjid Agung Kota Wonosari. Sebuah madrasah yang pasti akan membuka ingatan-ingatan kami waktu beberapa tahun silam. Bersama kuda besi nan sehat dan energik, sampailah kami di pelataran masjid agung itu. Masih seperti dulu, megah dan menyapa kami.
Dalam bayanganku, aku berharap bertemu sekian alumni, terutama alumnya yang lebih kawak dari kami. Eh ternyata, yang di sana hanyalah alumni-alumni yang seangkatan dengan kami dan yang lebih muda. Ketika menengok ke rumah mudir pesantren kami, oh ternyata beliau sedang mudik ke kampong halamannya. Dan ketika ditanyakan kabar para asatidz yang lain, ternyata mereka juga sedang mudik dan ada agenda di luar. Apa lagi jika ditanyakan santrinya, jelas mereka masih asyik di rumah menikmati kebahagian bersama keluarga. Jadilah pondok itu lengang tak berpenghuni. Kami melihat-lihat kembali kalau-kalau masih ada sesuatu yang sama dengan waktu kami masih di sana. Ternyata beberapa itu masih ada, dan itu menjadi hal yang memantik memoriku di masa lalu waktu masih tinggal di sana.
Tak banyak yang datang di pagi itu, akhirnya kami pun naik ke serambi depan masjid agung sambil menikmati cemilan yang dibawakan temanku dari kota santri bekasi. Bukan nyantri, dia kerja di kawasan industry sana sambil ngaji di kawasan pesantren salafi. Meskipun ikut salafi, aku tetap melihatnya seperti dahulu yang begitu menghargai berbagai perbedaan cara pandang kami, selama itu tidak berkaitan dengan ushul agama ini. Sambil menatap menara masjid yang begitu dekat dengan kami kami bercengkerama mengingat berbagai aktivitas kami, terutama hobi tidur kami waktu dirosah, hafalan atau belajar mandiri. Gelak tawa pun menyelimuti suasana kami yang memang semakin hangat oleh sengatan mentari. Dan rasanya kami seperti kisah shahibul menara di Novel Negeri 5 Menara. Bedanya, mereka telah menjadi “orang”, sedangkan kami masih berusaha untuk lebih menjadi “orang”.
Menziarahi Guru Tercinta
Setelah cukup puas melepas rindu, kami bersepakat untuk meneruskan perjalanan ke makam yang ada di seberang jalan masjid Agung. Di sana bersemayam jasad mulia, guru kami tercinta Allahyarham KH. Muh. Hussein. Sosok yang senantiasa dipenuhi keteladanan dan kesederhanaan hingga akhir hayatnya. Sosok yang senantiasa memberi perhatian dalam masalah pendidikan Islam hingga beliau tua. Sosok yang lisannya dijaga oleh Allah untuk tetap fasih membaca dan melafazkan kalam-Nya hingga usianya yang ke-80 dan selalu bugar dalam fisiknya. Kami ke sana untuk berkunjung dan memberi penghormatan kepada beliau.
Tibalah kami di makam yang sepi itu. Ada nisan yang bertulis nama beliau dengan sedikit balutan semen untuk menandai makam beliau. Kami duduk merenung dan mengingat bagaimana dulu beliau tersenyum di saat kami tertidur, khususnya aku yang menjadi pencatat rekor dalam dirosah pagi dan sore karena sering tidur hingga dibangunkan oleh waktu. Dalam hati aku rindu sekali ingin bertemu beliau, semoga kelak di akhirat kami dipertemukan dalam jamuan terindah bersama kekasih kami tercinta Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam. Aku bersyukur 2,5 tahun bermulazamah bersama beliau, melihat kesederhanaan dan pola hidup beliau yang penuh kesederhanaan. Sekarang aku sulit mencari orang yang sepuh namun begitu berhikmah seperti beliau.
Mengenang Kota
Setelah berdoa dan memohonkan ampunan untuk beliau, kami meneruskan perjalanan kami menikmati kuliner yang ada di kota Wonosari. Karena bingung mau makan apa akhirnya kami beli makanan yang menurut kami sepesial di waktu masih jadi santri dulu. Maklum, bagi kami para santri yang terdidik dalam kesederhanaan hidup, kala itu bakso dan mie ayam adalah termasuk makanan kelas menengah yang tidak selalu kami nikmati setiap hari. Atas saran salah satu teman yang memang hobi kuliner waktu SMA hingga sekarang, dia mereferensikan salah satu warung untuk kita singgahi. Akhirnya kami makan bareng di situ sampai menjelang adzan dzuhur. Enak rasanya, lumayan. Dan lebih enak lagi ada yang mentraktir ternyata.
Dari perjalanan makam ke warung tadi kami sempatkan untuk melewati gang-gang yang dulu biasa kami jadikan rute waktu sekolah atau jalan-jalan. Masih sama, belum banyak berubah. Dan itu membuat air mataku menetes perlahan. Ternyata mengenang itu menciptakan kerinduan. Bahkan mungkin sebuah kerinduan yang tidak masuk akal, yaitu ingin memutar waktu kembali ke masa itu. Alangkah indahnya.
Cukuplah perjalanan kami hari itu. Kemudian kami saling berpamitan dan pulang menuju peradabannya masing-masing. Ada cinta, ada semangat, dan ada inspirasi besar untuk sebuah cita-cita masa depan kami. Mungkin kami akan menjadi shahibul menara selanjutnya. Insya Allah.
“Yaa Rabb, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang baik itu benar-benar baik, dan rizkikanlah kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu benar-benar batil, dan rizkiknlah kepada kami untuk meninggalkannya”
mereka guru guru dari para santri itu selalu akan terpatri di hati, sampai kapanpun, semoga amal mereka terus terus mengalir hingga yaumul akhir, dan kita dapat meneruskan lintasan ilmu dan rantai rantai kebaikannya
Iya tante, mereka pasti akan selalu tersemat dalam ingatan kita.