Belakangan ini kita semakin akrab dengan istilah “best seller”. Sebuah istilah yang berkaitan dengan ukuran kelarisan buku yang dijual. Seketika itu kita segera ingat dengan novel-novel yang begitu berjibun jumlahnya. Di antaranya ada yang sangat terkenal yaitu seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau mungkin yang lebih baru seperti Negeri 5 Menara. Apa yang terungkap di sebaliknya, tentu saja adalah para penulis-penulis yang luar biasa. Sebut saja Habiburrahman el-Shirazy, Tere Liye, atau yang lainnya.

Prolog di atas sekedar pembuka untuk membuka gambaran kepada kita tentang dunia literasi di negeri kita. Tetapi tahukah kita, berapa judul buku baru yang terbit di negeri kita per tahun untuk akhir-akhir ini? Dalam sebuah training jurnalistik yang kuikuti tadi siang, seorang pembicara yang sudah malang-melintang di dunia editor menyampaikan hanya ada sekitar 18.000 judul buku per tahun, jauh dibandingkan dengan Malaysia dan negara-negara tetangga kita yang dulu sempat merdeka hampir bersamaan. Mungkin hanya tinggal Vietnam yang masih sedikit di bawah Indonesia, tapi jika jumlah judul buku yang terbit dibagi dengan jumlah seluruh penduduk di masing-masing negara bagaimana jadinya? Lagi-lagi kita akan menelan pil pahit bagaimana lemahnya dunia literasi di negeri kita.

Selain itu, dari judul yang berjibun itu, berapa tulisan yang memang berkualitas sehingga menyejarah dan disitasi oleh berbagai kalangan karena ketajaman analisis dan kedalaman isinya? Sangat sedikit. Dan kemudian ada masalah yang muncul di dalam dunia literasi kita, kalo aku menyebutnya sebagai budaya materialisme dalam menulis. Penulis menjadi penulis “best seller” karena mengejar materi dan akhirnya pragmatis untuk sebuah tujuan-tujuan sempit saja. Maka berdasarkan hasil diskusiku dengan pembicara dan teman-teman dalam training jurnalistik tadi siang aku akan mencoba mengurai berbagai interaksi antara penulis, literasi, materialism dan karakter menulis. Hingga akhirnya kita bisa belajar bagaimana menjadi penulis yang berkarakter.

Ketika Tulisan itu Terasa Menjemukan

Terkadang orang berkata, “aku bosan membaca, soalnya isi bacaannya itu-itu saja!”. Ini adalah sebuah ungkapan yang bisa jadi menunjukkan pada pelaku yang malas atau memang karena tulisan yang dibaca tidak menarik. Kita pilih asumsi bahwa tulisannya yang tidak menarik saja. Mengapa bisa terjadi? Banyak sebabnya. Kita ambil contoh misalnya bagaimana bulletin jumat itu aktif dibagikan setiap jumat, tetapi terkadang tidak lebih sekedar pelengkap jamaah saja, terutama untuk kipasan ketika udara dalam masjid terasa panas. Astaghfirullah.

Itu hanya sebuah contoh kecil yang terkadang sangat benar-benar terjadi. Apakah mau menyalahkan jamaah jika demikian? Tentu tidak. Maka masalahnya adalah mengapa tulisan itu terasa menjemukan. Boleh jadi tulisan yang ada hanyalah sebuah ritual pekanan yang tidak mengundang mata untuk membaca dan menarik pikiran untuk mencerna. Padahal isinya sangat bagus, tetapi lagi-lagi kita akan bicara tentang tulisan yang tidak mengena. Nah, itulah masalahnya. Tulisan yang tidak menyentuh hati pembacanya.

Mengapa bisa demikian? Kita batasi saja jawabannya untuk mengorek seputar kepribadian orang-orang yang menulis. Dan ujung-ujungnya nanti kita akan bicara pada penulis-penulis yang berkarakter.

Penulis Berkarakter

Berbicara terkait masalah karakter lagi-lagi kita bicara soal komitmen dan visi. Bagaimana tidak? Sulit sekali memahami apakah orang itu berkarakter atau tidak kecuali dilihat dari komitmen dan visinya. Dan di sini kita sedang membatasi pembicaraan untuk membahas penulis berkarakter. Terkadang ditanyakan, karakter itu paksaan atau pilihan? Sulit sekali untuk dijawab, tetapi sepertinya menjadi tidak penting untuk di jawab jika kita memilih mengatakan bahwa “saatnya, karakter itu sebuah panggilan hati”. Dan aku setuju dengan statemen ini.

Sampai di sini, maka kita akan segera melakukan studi kasus. Karena aku bukan orang yang telah makan asam garam dalam dunia kepenulisan, maka tentu sumber studi kasus ini adalah cerita dari Pak Yusuf yang menjadi mentor jurnalistik kami. Pertama, sebagai penulis yang ulung beliau pernah mendapat tawaran untuk sebuah proyek penulisan buku dengan harga yang sangat tinggi. Kondisinya juga lagi butuh uang untuk sebuah rencana hidupnya yang penting. Ini adalah ujian yang sangat berat ketika itu bagaimana beliau akhirnya berhasil melawan godaan itu dengan tetap menjadi penulis yang khas sesuai dengan kepribadian beliau. Kedua, beberapa penulis terkenal mereka hanya mampu membuat buku yang benar-benar bagus pada edisi pertamanya, selanjutnya mereka rasanya seperti kejar tayang saja demi mendapatkan sesuap nasi (bahasa alay nan lebay, plus tolol, kata Aa Gym. Masak kerja capek-capek demi sesuap nasi saja). Kadang “best seller”-nya pun dipaksakan. Ketiga, ada beberapa penulis yang rajin menulis apa saja karena terobsesi dengan proyek-proyek penulisan yang bernilai tinggi. Baik itu proyek penulisan biografi seseorang untuk tujuan politis maupun kepentingan yang lainnya. Keempat, ada penulis yang hanya menulis sesuatu yang dalam bahasaku sebagai “sampah” otak saja. Di era Web 2.0 sekarang, arus informasi begitu cepat, dan segala hal dapat diolah menjadi bahan tulisan yang menjual. Terlepas dari substansinya baik atau tidak, kalau sudah berbicara profit maka semua itu terasa tidak ada artinya.

Dari banyak kasus yang telah dipaparkan di atas itulah faktor mengapa sekarang susah mencari penulis yang berkarakter. Kita tidak perlu heran jika kemudian tulisan-tulisan sekarang hanya seperti pemanis mata saja tetapi tidak menyentuh hati-hati orang yang membacanya. Jika karya-karya yang ditorehkan itu kemudian terkotori oleh hasrat duniawi maka akhirnya kita merasakan sesuatu yang hambar dari tulisan-tulisan itu.

Di sisi lain, berbagai arus informasi yang serba bebas seperti sekarang, masyarkat juga menjadi sangat pragmatis. Misalnya ketika ada tulisan-tulisan tokoh yang tengah berkuasa atau tulisan yang berkaitan dengan tokoh-tokoh tertentu, maka stigma negatiflah yang muncul. Boleh jadi para tokoh itu sebenarnya benar-benar ingin berbagi, atau orang yang menuliskan seorang tokoh tertentu itu memang karena melihat kenyataan yang sering ia rasakan sehari-hari bersamanya. Tetapi lagi-lagi sisi pragmatis dan stigma negative akan lebih mengakar di masyarakat mulai anggapan tebar pesona, berkelit dari tuduhan dll. Tidak salah juga, karena itu akumulasi dari pendapat masyarakat yang sekian lama merasa dikhianati oleh para pemimpin bangsa dewasa ini.

Jadi intinya tulisan bagus bisa jadi tidak diterima ketika suasana hati masyarakat sedang kacau. Tetapi lebih parah lagi jika tulisan yang ditulis sarat dengan ambisi duniawi yang hanya mengejar keuntungan semata-mata. Masih adakah tulisan para negarawan negeri ini seperti Capita Selecta-nya M. Natsir atau Untuk Negeriku-nya Mohammad Hatta atau yang lainnya. Mereka adalah putra-putra bangsa yang menulis dengan karakter dan integritas mereka. Bukan untuk mengejar sebuah ambisi kekayaan duniawi semata. Maka aku sematkan penghargaanku, bahwa mereka adalah salah satu penulis berkarakter asal negeri ini.

Melihat yang Lebih Hebat

Untuk memantapkan pijakan pemahaman kita atas penulis berkarakter. Maka saya mengutip perkataan Pak Yusuf, ketika Anda dalam menulis masih tercampuri obsesi duniawi maka itu akan berdampak pada ruh tulisan Anda. Jadi menulislah dengan hati. Maka kita akan segera tahu bagaimana khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit menuai amal yang luar biasa ketika dahulu membukukan al-Quran dan akhirnya sekarang kitab itu menjadi kitab yang paling popular untuk diperbanyak dan disebarluaskan. Itulah ketika wahyu Allah kemudian salah satunya diabadikan dalam dunia literasi. Maka kita akan tahu bagaimana Imam Bukhari dan imam-imam ahlul hadits yang lainnya pun juga menorehkan sejarah yang sangat fenomenal hingga hari ini. Begitu pula para penulis yang lain dari berbagai penjuru dunia baik yang telah hidup sebelum masa kejayaan Islam maupun yang setelahnya. Mereka jauh lebih hebat dari pada penulis-penulis berkarakter yang kita kenal di zaman ini.

Akhirnya, mari kita berobsesi untuk menjadi orang baik forever dan tetap bergiat untuk menulis sebagai teman dan curahan perjuangan kita. Karena ia akan menjadi saksi sejarah perjuangan kita di masa nanti. Usahlah dipikir lagi bagaimana kita akan hidup dari menulis. Menulislah, maka kita akan senantiasa hidup. Dan tentunya semuanya harus diniatkan karena Allah dan untuk tujuan dakwah.

Dan ini adalah salah satu bagian dari internalisasi idealismeku. Bisakah aku membuktikannya? Aku yakin aku bisa. Aku berharap siapa pun yang pernah membaca tulisan ini, suatu saat akan menjadi orang terbaik yang akan mengawal keberjalanan hidupku, terutama idealismeku.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses