Imam Shamsi AliBuku tersebut juga menjelaskan betapa kebodohan di tengah negara yang mayoritas Islam bersumber pada pola pikir yang sempit dan keengganan untuk terus belajar dan mencari tahu. Di Amerika Serikat, peristiwa 11 September 2001 silam menjadi titik balik kebangkitan dakwah Islam karena jika sebelumnya para pemeluk Islam dari negeri tersebut kebanyakan adalah orang-orang Afro-Amerika yang mendapat pencerahan spiritual di penjara, setelah peristiwa itu anak-anak muda yang berpendidikan dan profesional semakin banyak yang memeluk Islam. Awalnya mereka hanya penasaran ketika peristiwa itu mengkambinghitamkan umat Islam, mereka membaca kitab al-Quran untuk mencari ayat-ayat yang mengajarkan terorisme. Tapi semua justru berbalik mereka mencintai Islam dan akhirnya menjadi bagian dari kaum muslimin.

Buku tersebut juga menjadi inspirasi bagaimana pentingnya menjaga persatuan dan membangun koalisi. Aku justru menangkap kecerdasan Imam Shamsi Ali dalam mengambil momentum seperti perjanjian Hudaibiyah. Dahulu masjid adalah tempat yang ditakuti orang-orang non-Islam untuk dikunjungi. Tetapi setelah adanya kerjasama antara para tokoh agama lain di sana, umat agama lain bisa melihat kegiatan masjid dan akhirnya mereka ada yang tertarik untuk masuk Islam. Semua menjadi harmoni. Berbagai provokasi yang dilakukan oleh para oknum untuk merusak kedamaian, akhirnya dapat dikonter dengan dukungan serempak semua pihak yang telah bekerja sama.

Bagaimana dengan negeri kita yang mayoritas umat Islam tetapi ternyata masih sama-sama suka menjelek-jelekkan satu sama lain. Aliran-aliran sesat semakin tumbuh subur karena umat Islam cenderung konservatif dalam ukhuwahnya sehingga yang cenderung sesat bukannya didekati dengan baik-baik tetapi langsung dimusuhi. Media-media sekuler pengusung semangat kebebesan tanpa batas yang kemudian membesarkan semua yang awalnya hanya perilaku-perilaku menyimpang, baik karena ketidakpahaman pada agama atau faktor lain yang membuat orang rela berbuat kesesatan.

Maka dari itu, hakikatnya berbagai perbedaan umat Islam saat ini adalah potensi yang harus disatukan. Mari kita ubah perspektif kita dengan menyatakan bahwa ini adalah masa pergerakan nasional kedua. Umat Islam harus bersatu lagi meskipun dalam banyak hal masih terdapat kepentingan yang berbeda. Tetapi bukankah membangun negeri ini butuh kesepakatan bersama. Jika Indonesia kuat tentu kita bisa memberikan kontribusi yang besar dalam membela negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam lainnya yang saat ini masih tertindas dalam kebodohannya.

Hakikatnya, jika Anda berteriak-teriak soal khilafah, maka titik mulainya yang penting untuk ditegaskan. Termasuk bagaimana bentuk daulah Islam, apakah kerajaan, demokrasi atau apa, itu sebenarnya dijawab di setiap zamannya. Yang asasi adalah bagaimana pemimpin berhukum dengan nilai-nilai Qurani dan menegakkan keadilan atas hukum yang telah dituliskan. Mari kita belajar dari Michael Bloomberg, walikota New York yang berdarah Yahudi saat mendukung pendirian Masjid di Ground Zero. Beliau tidak menyatakan mendukung Islam, Imam Shamsi Ali, atau kegiatan keagamannya. Beliau hanya ingin menegakkan konstitus Amerika Serikat tentang kebebasan beragama di negeri tersebut.

Tak malukah kita yang sudah diberi konstitusi dari langit, tanpa cacat, tanpa cela yang terus dihafal tiap generasi tanpa perlu khawatir ada satu huruf yang hilang karena Allah sendiri telah menjamin penjagaannya? Semoga kita bisa belajar banyak untuk memperbaiki langkah-langkah belajar kita mengenal Islam dan melakukan dakwah Islam yang mulia ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.