Hari ini, sebagian umat Islam di Indonesia yang mengikuti metode hisab telah menjalankan shalat tarawih. Dan pemerintah baru saja menetapkan keputusannya lewat menteri Agama bahwa Ramadhan jatuh pada hari Sabtu. Apa pun itu, seperti biasanya perbedaan terjadi lagi tahun ini. Karena dalam hal ini terletak pada tidak bertemunya kesepakatan antara yang menggunakan metode rukyat dan hisab.
Secara hisab, sangat jelas dinyatakan bahwa saat matahari terbenam tadi, posisi hilal sudah diatas nol derajat. Ini salah satu informasinya
Kamis 19 Juli 2012 sore merupakan saat pelaksanaan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1433 Hijriyah. Hal ini berdasarkan pada Taqwim Standard Indonesian hasil rukyat pada bulan sebelumnya yang menyimpulkan sama. Hari itu dari Pos Observasi Bulan Bukit Bela-belu Parangkusumo, Matahari terbenam pada pukul 17:36 WIB pada azimuth 290°48′ atau 20,8° di Utara titik Barat. Tinggi Hilal saat Matahari terbenam 1°40′ atau 1,7° di atas ufuk mar’i di kiri-atas Matahari. Bulan terbenam pada 17:45 WIB pada azimuth 286°6′. Pada kondisi seperti ini secara astronomis Hilal mustahil dirukyat baik menggunakan mata telanjang maupun teleskop. Namun demikian kegiatan rukyat tetap dilaksanakan sesuai perintah rukyat yang harus dilakukan pada setiap tanggal 29 bulan berjalan serta pembuktian di lapangan ketidak nampakan hilal.
Sedangkan secara rukyat angka tersebut menyatakan bahwa tidak dapat dilihat oleh mata untuk saat ini kendatipun menggunakan teropong-teropong yang memadai. Karena menurut para astronomer, hilal baru dapat dilihat secara jelas jika posisinya di atas 3 derajat.
Hemm, sebagai seorang yang belajar di fisika, saya tidak akan meributkan masalah perbedaan itu. Karena mereka yang berpendapat dengan hisab juga memiliki berbagai argumentasi yang kuat, kendatipun sebagian yang lain mengatakan itu sebagai bid’ah. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa metode rukyatlah yang ditetapkan oleh pemerintah yang tepat. Mana yang benar? Saya tidak berani menjawab. Saya cukup menyimpan jawaban yang saya yakini untuk diri sendiri.
Tapi jika ada yang beralasan bahwa beberapa negara selain Indonesia bisa satu waktu kok, bahkan Saudi Arabia juga satu waktu dan ternyata sama dengan yang menggunakan hisab. Kenapa Indonesia berbeda-beda? Jawaban secara fisika sangat jelas yaitu berapa derajat panjang garis lintang di Saudi dan berapa panjang garis lintang di Indonesia (artinya bujur paling timur – bujur paling baratnya). Bagaimana jawabannya, jelas berbeda. Nah perbedaan inilah yang kemudian mengharuskan Indonesia menentukan titik rukyat yang banyak. Dan jika timbul perbedaan maka diputuskanlah berdasarkan kondisi yang paling mewakili. Namun jika dilihat dengan hisab, maka angka-angka posisi hilal sudah pasti di ketahui. Hanya saja, hisab adalah pendekatan matematis yang artinya jika hilal itu sudah di atas nol derajat itu artinya hilal telah berada di atas ufuk, baik terlihat dengan mata atau pun tidak.
Nah lalu kapan Ramadhan kita bisa sama? Rasanya seperti berandai-andai ya. Alangkah indahnya sekiranya bisa. Ngeri lihat sesama saudara sesama muslim terus menyibukkan diri berbantahan seperti ini. Bukan masalah benar salahnya yang ku permasalahkan, tetapi betapa banyak waktu yang terbuang karena jidal yang tidak ada penengahnya. Lalu apa penengahnya.
Maka dalam akhir tulisan ini saya mengajak kepada teman-teman yang memang jadi ahli mekanik, optic dan fisika. Bagaimana kalo kita menciptakan teropong yang lebih sensitive dan lebih detail dalam mengobservasi kemunculan hilal. Asumsinya teropong ini mampu melihat hilal yang muncul sejak posisi 0,5 derajat. Ini mungkin gagasan konyol. Tapi apakah tidak bisa diwujudkan suatu saat? Dari pada rebut terus dengan rukyat dan hisab yang tidak kunjung selesai. Mari kita belajar serius tentang fisika yang udah jadi makanan kita sehari-hari. Kemudian kita persembahkan teropong spesial Ramadhan kepada pemerintah RI agar perbedaan seperti ini tidak sering terjadi dan membuat umat Islam saling mengejek satu sama lain. Inilah tugas kita sebagai fisikawan untuk menjadi penengah.
Tulisan ini sangat kontroversial, silahkan jika ingin mendebat. Karena yang menulis adalah orang yang masih butuh banyak belajar tentang fisika. Jadi apakah realistis gagasan itu. Anda sendiri yang sebaiknya menilai.
aduh gan, ane gak paham yg bagian ini:
“Jawaban secara fisika sangat jelas yaitu berapa derajat panjang garis lintang di Saudi dan berapa panjang garis lintang di Indonesia (artinya bujur paling timur – bujur paling baratnya). ”
Tolong jelasin dunk..makasiiii…
gini gan, kan panjange Indonesia ro Saudi ki bedho. Jadi selisih garis bujure kan kalah gedhe. Selisih posisi bujur = panjang garis lintang to?