Dengan berbekal kesetiaan pada sang Khalifah di Baghdad yang memang menjadi pemegang otoritas Islam Sunni di atas seluruh kekhalifahan Islam, beliau mendapat restu untuk menaklukkan mesir di bawah komando Nuruddin yang memiliki visi besar untuk menyatukan seluruh wilayah muslim yang masih tercerai-berai dari Mesir sampai Aleppo dan Mosul untuk menjadi kekuatan penaklukan Yerusalem yang dikuasai oleh bangsa Frank.
Kemampuan politiknya yang ulung telah teruji di tugas pertama ini sehingga dengan kelihaiannya beliau bisa menggulingkan rezim Syiah relatif singkat dengan tanpa pertumpahan darah yang sangat berarti. Bahkan dalam bukunya Geoffrey, pernah ada sebuah makar yang direncanakan oleh orang-orang yang tidak terima dengan manuver Shalahuddin berhasil digagalkan dengan mudah karena kecerdikannya Shalahuddin memasukkan orang-orang intelejennya menjadi bagian dalam penyusunan makar tersebut.
Adalah yang biasa dalam dunia perpolitikan bahwa terjadi persaingan kekuasaan di antara para pemimpin yang berkuasa. Apalagi dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidin, maka kepemimpinan Islam seakan terpisah menjadi dua yaitu Penguasa dan Ulama. Namun kekuatan Islam selalu kuat karena kepercayaan yang tinggi kepada para ulama dan penghormatan para penguasa muslim kepada para ulama (tidak seperti sekarang di mana para ulama yang hilang wibawanya di mata umat karena kezuhudan mereka yang hilang, dan para penguasa yang tidak menjadikan ulama sebagai sahabat dan pemberi nasihat mereka).
Maka terlebih pada masa Shalahuddin ini (sekitar abad ke 11), ketika kekhalifahan Abasyiyah telah melemah sehingga kekuasaan wilayah khalifah Islam ini agak mirip dengan sistem aristokrasi dan negara bagian, dimana khalifah lebih sebagai simbol legitimasi untuk berbagai keputusan dan namanya disebut dalam doa setiap shalat jumat di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan dalam panji Islam. Sehingga para amir wilayah bersaing untuk berkuasa dan tak jarang saling berperang sesama kaum muslimin. Maka tak heran, jika Nuruddin yang pada waktu itu dikenal sebagai penguasa yang relatif paling bagus keshalihannya sebagai penguasa dari pada pendahulunya, memiliki visi untuk menyatukan wilayah yang melingkari Yerusalem dalam satu panjinya agar nanti gerakan pembebasan Yerusalem dapat dilakukan, tentunya dengan dukungan seruan jihad dari para ulama.
Visi inilah yang dimengerti oleh Shalahuddin dan akhirnya dia ingin mewujudkannya dalam perjuangannya nanti. Meski Mesir telah dikuasai, kecurigaan Nuruddin dan kekhawatirannya akan gerak si Kurdi ini mengambil kekuasaannya tak bisa hilang. Di beberapa penaklukan yang dilakukan pasukan Mesir dan Damaskus, pasti Shalahuddin memilih menghindar dari bertemu dengan Nuruddin sehingga kecurigaan sang tuan ini menjadi semakin besar. Hingga akhirnya semua peta kekuasaan berubah setelah sang penguasa ini wafat dan diteruskan oleh generasinya yang lemah.
Shalahuddin membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun persatuan di wilayah yang telah menjadi visi Nuruddin. Butuh peperangan, butuh diplomasi, bahkan butuh pengorbanan harta yang besar untuk membuat beberapa emir-emir wilayah yang lebih tertarik dengan uang dan kekuasaan dari pada jihad itu untuk tunduk di bawah bendera Shalahuddin sebagai sang penguasa Mesir atas nama Khalifah Abasyiyah. Namun hal yang mengagumkan bagiku adalah kemampuan diplomasinya sehingga selama beliau dan Nuruddin masih hidup, meskipun diliputi kecurigaan tidak pernah berujung pada ketegangan yang berakibat pecahnya perang sesama muslim dari dua kekuatan besar, Damaskus dan Mesir. Di kemudian hari kedua pasukan inilah yang menjadi pasukan utama yang membawa panji khalifah dan bendera Shalahuddin untuk misi terbesarnya, pembebasan Yerusalem. Dengan kecerdikannya beliau berhasil menjaga perseteruan ini tidak membesar dengan dukungan perlindungan Khalifah di Baghdad.
bersambung