Ceritanya aku kemarin pulang ke rumah karena saket kakek belum mendapat kesembuhan dari Allah. Kami para keluarga besarnya bergantian merawat dan menjaga beliau. Aku sendiri malah dipanggil beliau untuk mendengarkan berbagai keluhan beliau selama aku tidak ada. Yang pasti, kehidupan kejawen di masa lalu sepertinya beliau rasakan hari ini di mana berbagai gangguan masih tetap saja berkeliaran. Bahkan sampai tadi malam aku harus melarung salah satu benda peninggalan di sebuah sungai. Entah apa lagi yang masih tersimpan di rumah kakek, aku hanya berharap jika ketemu pasti akan kumusnahkan.

Itu hanya pengantar saja kawan, cerita yang sebenarnya adalah tranformasi gaya hidup orang kampung hari ini. Di desaku sekarang orang-orang yang seusiaku tidak dapat dijumpai setiap hari. Kecuali mereka yang kuliah seperti aku (dan belum lulus-lulus ini) masih bisa berkeliaran sebulan sekali di desa. Tapi yang lulus SMA langsung kerja, mereka hanya kelihatan barang hidungnya saat lebaran. Maka lebaran adalah lapak bagi yang pulang dari kota untuk pamer kemewahan. Dulu adalah kebanggaan, kini menurutku itu adalah penyakit yang parah karena membuat kalangan orang desa mabuk kemewahan dan akhirnya muncul benih-benih keroyalan hidup di balik keluguan yang ada.

Alhasil, maka sebagian keluarga terpancing untuk bergaya hidup mewah meski pun budget mereka sebenarnya tidak mencukupi. Dalam sebuah struktur masyarakat dan keluarga besar, tipe keluarga ini cenderung bermewah-mewah dan ingin terlihat wah. Akibatnya hak-hak yang seharusnya perlu dia tunaikan, seperti memberi nafkah kepada orang tua mereka yang telah lanjut usia terabaikan karena mereka saja harus kembang kempis menuruti nafsu kemewahannya. Tak jarang hal ini membebani anggota keluarga yang lain yang juga tidak kalah susahnya. Bahkan parahnya adalah demi mencapai keinginan ini hutang pun dilakukan, termasuk menyelewengkan uang-uang yang diamanahkan.

Beginilah ketika sebuah pola hidup dipancingkan pada masyarakat yang tidak dewasa dan rasional. Masyarakat yang berpola pikir cethek namun selalu disuguhi dengan royalisme buta yang akibatnya merusak tatanan masyarakat desa yang dahulu damai dalam kesederhanaannya. Urbanisasi ke kota baik jika itu untuk mencukupi kebutuhan hidup yang pokok. Tapi jika tambahannya dibawa-bawa dan meracuni tradisi masyarakat desa, apa artinya uang dan kemewahan yang diraih jika di kemudian hari sistem ini mewabahkan jiwa konsumtif akut masyarakat desa.

Ah, ini hanya keluh seorang pemuda yang tidak ikut-ikutan kawannya bekerja di kota. Iya betul, tapi aku ingin buktikan kepada orang-orang kampung, bahwa desa itu lebih indah dan lebih menenteramkan dari pada harus memaksakan diri mengais rezeki di kota metropolitan.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.