Sore ini, agendaku dan teman-teman beasiswa aktivis adalah berkunjung ke rumah salah satu tokoh pengabdian masyarakat di Solo. Beliau adalah pendiri Komunitas Pintu Indonesia, tempat aku banyak belajar dan mengambil peran-peran di sana. Karena sore ini hujan sangat lebat, akhirnya teman-teman berguguran satu demi satu dan tinggal 2 orang yang menyatakan siap berangkat. Tak apalah, beliau juga tentu tidak akan memandang itu sebagai masalah. Mungkin aku yang bermasalah dengan menanggung malu dan itu terkadang menjadi pemicu ego pribadiku untuk marah.
Langsung to the point aja yah. Pada awal diskusi beliau memberi sebuah klu tentang anak yatim. Beliau meluruskan pemahaman kami tentang istilah menyantuni anak yatim dengan pertanyaan. Siapa sih yang sebenarnya butuh? Kita butuh anak yatim atau anak yatim yang membutuhkan kita? Jika kita mau bijak sebenarnya kitalah yang membutuhkan mereka. Adanya mereka maka Allah akan memuliakan kita ketika kita dapat bersikap mulia terhadap mereka. Jadi menyantuni anak yatim itu harus diganti dengan memuliakan anak yatim karena merekalah salah satu jalan yang Allah sediakan untuk kita menapak tangga kemuliaan.
Yang kedua adalah tentang prinsip kaderisasi. Sebenarnya ini sudah sering kuulas ditulisan-tulisan sebelumnya. Intinya seorang pemimpin itu harus dapat menciptakan pemimpin, bukan pengikut. Kesalahan terbesar seorang pemimpin adalah manakala mereka memiliki pengikut yang tidak punya pemimpin. Hal ini terlihat dari kejatuhannya sebuah komunitas karena ketika pemimpin kharismatik itu tiada, tidak ada orang yang mampu menjadi penerus sekuat beliau. Tentang hal ini, kita telah sering berdiskusi bahkan dalam daurah-daurah yang ada. Tetapi sudahkah kita mengimplementasikannya dalam hidup kita?
Yang ketiga tentang perbedaannya “apa adanya” dengan “sederhana”. Kata beliau, sederhana itu milik orang zuhud, sedangkan apa adanya itu milik orang miskin. Nah, maka mari kita pilih apakah kita ingin jadi orang kaya tapi zuhud atau tetap menjadi miskin karena kebodohan kita sehingga kita tidak dapat mengambil banyak peran dalam hidup.
Yang keempat adalah tentang prasangka. Terkadang kita itu terlalu berprasangka baik pada seseorang, dan lebih parahnya lagi hidup kita terlalu banyak berprasangka buruk pada banyak orang. Itu membuat kita rusak dan perasaan kita tersita. Yah, lakukan dan terus lakukan yang terbaik saja. Tanpa harus banyak melakukan lobi untuk orang lain membenarkan apa yang kita lakukan. Belajar dari banyak orang yang bijak dan lakukan apa yang telah kita yakini kebaikannya.
Yang kelima adalah tentang manifestasi kebaikan. Kita sering mendengar bagaimana para ustadz menerangkan tentang cara berdakwah mulai dari hikmah, mauidzah hasanah, dan jadilhum bil laty hiya ahsan. Ini adalah sisi lain cara pandang yang bisa dipertimbangkan. Ketika kita dihadapkan pada kenyataan di era modern hari ini kita akan mendapat pertanyaan. Sesuatu yang jelek tetapi dikemas dengan cara yang sangat baik, bisakah ia diterima oleh masyarakat kita? Jawabannya sangat bisa. Pertanyaannya kenapa dakwah Islam yang mulia ini hari ini banyak ditolak oleh kalangan masyarakat kita bahkan yang muslim sendiri? Mari kita ulas.
Hikmah itu adalah cara dalam menyampaikan. Mauidzah hasanah adalah konten yang disampaikan. Nah, sebenarnya dua hal ini sudah pasti sempurna jika digunakan untuk menanyakan bagaimana Islam dahulu disampaikan oleh Rasulullah, tentang cara dan apa yang beliau bawa. Masalahnya hari ini kita mungkin tidak bisa memahami jadilhum bil laty hiya ahsan sebagai sebuah manifestasi hidup yang lebih sesuai. Kita hanya sering mengartikan secara harfiah dengan mengatakan debat yang baik. Yang namanya debat rasanya tetap menyakitkan dan ini cara terakhir yang baru boleh ditempuh. Karena bisa jadi debat itu akan memberi manfaat pada orang lain disekitarnya yang mendengarkan dan mau berpikir. Jika debat yang baik itu dipahami secara harfiah itulah maknanya dan pasti kita akui itu bukan cara terbaik, karena dua cara yang pertama tadi tentu lebih baik.
Kini saatnya kita mengubah cara pandang kita dengan mengaktualisasikan poin jadilhum bil laty hiya ahsan dengan kerja. Ketika kita melihat banyak tayangan televisi yang parah dan merusak moral bangsa, kenapa kita hanya sibuk membuat komentar-komentar terhadap TV yang nyata-nyata ditonton oleh jutaan umat Islam. Yang tanpa disadari itu memojokkan ulama itu sendiri. Kenapa kita tidak memunculkan gerakan baru untuk membangun televisi umat Islam dan menggerakkan berbagai elemen yang berbeda hari ini. Egoisme umat Islam di Indonesia hari ini membuat mereka sendiri lemah untuk membuat layanan yang baik bagi umat Islam itu sendiri.
Ketika para misionaris gencar melakukan Kristenisasi di Indonesia, mengapa terkadang ada ulama yang justru sibuk membuat pernyataan-pernyataan miring yang kadang tidak rasional. Mengapa tidak kita lakukan hal yang sama dengan cara yang lebih baik untuk menjaga keutuhan umat. Hari ini umat Islam di Indonesia diuji dengan sifat egoisnya yang membuat mereka semakin bodoh terjebak dalam kefanatikannya. Mudah memusuhi dan menimbulkan rasa benci. Bukankah Rasulullah sendiri mengajarkan sifat kasih sayang. Masih ingatkah bagaimana beliau istiqomah menyuapi seorang Yahudi buta di ujung pasar Madinah yang tiap hari mencela dirinya. Hingga akhirnya orang Yahudi itu masuk Islam sepeninggal beliau karena sadar bahwa yang menyuapi sekarang tak sebaik dahulu dan Abu Bakar memberitahukan itu semua
Ketika banyak hujatan tentang Islam identik dengan terorisme, mengapa justru ramai-ramai ada yang malu dengan ke-Islam-annya. Semua itu pilihan, tetapi setiap pilihan itu akan menjadi jawaban atas apa yang sudah kita lakukan untuk dakwah Islam ini. Itulah sisi lain tentang mendebat dengan cara yang baik. Bukan dengan hanya mulut kita, tetapi kerja nyata yang membuat mata dunia mengerti bahwa Islam itu memang baik sebagaimana diajarkan oleh orang terbaik yang pernah ada sepanjang zaman. Michael Hart tentu tidak sedang tidur kan waktu menempatkan Muhammad sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia. Dan itulah yang seharusnya kita mengerti wahai saudara-saudariku kaum muslimin. Kita sama-sama bergiat untuk belajar Islam dan menelusuri sumber aslinya di era yang serba mudah sekarang, namun sesekali jalan kita berbeda, apakah kita harus berhenti gara-gara perbedaan ini. Mari kita lebih bijak dalam memandang ke depan.
Itulah refleksiku tentang perbincangan kami yang sampai tengah malam. Sebagian tulisan di atas ku kembangkan berdasarkan input yang pernah kuterima sebelumnya. Dan semoga inspirasi beliau itu senantiasa tertanam kuat pada kami. Terima kasih Pak Yepe.