Perkemahan kali ini tidak begitu baik dalam ukuran normalku. Apalagi jika ibuku sampai tahu bahwa aku sedang flu. Setidaknya aku hanya pamit untuk kemah dan beliau memberikan restu. Beres. Cukup tahu itu, tanpa harus tahu bahwa aku sedang flu. Dan tidak perlu lebai bahwa saat aku flu lantas minta rukhsah macam-macam saat pelaksanaan kemah. Berani berangkat berarti siap tempur dan tidak usah banyak alasan.
Benar saja, hari itu kami diminta berjalan menaiki bukit. Dalam keadaan sehatku itu mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tapi saat flu dengan pernafasan yang sesak, sepanjang jalan cuma berdoa diberi kekuatan. Iya, jangan sampai ikhwah yang lain terbebani untuk mengendong tasku atau malah memapahku jika sampai pingsan. Alhamdulillah sampai di atas dengan selamat.
Tapi ujian belum usai. Tiga hari dua malam di bumi perkemahan Batu Seribu yang permai ini ditemani dengan hujan yang deras dan cuaca yang fluktuatif. Kupikir dengan peralatan yang ditugaskan untuk kami lewat SMS itu akan didukung dengan peralatan yang disediakan panitia, yakni tenda. Ternyata, kami harus bermalam dengan ponco masing-masing. Mantap sekali bukan. Sekali lagi hanya berdoa, ya Allah kuatkanlah aku hingga akhir acara ini nanti.
Hari pertama kemarin, suhu udara sangat panas sebelum Shalat Jumat. Tapi akhirnya hujan pun terjadi dengan cukup derasnya. Tapi kami tidak peduli saat instruktur memerintahkan kami untuk melakukan segala hal yang diminta. (Maklum, saat pembacaan tatib perkemahan, baru kali ini aku mendengar dengan terang pernyataan panitia tentang pasal yang biasa diberlakukan dalam gojlogan, Peraturan III: peserta wajib mengikuti instruksi panitia tanpa protes apa pun, Peraturan IV: panitia tidak pernah salah, Peraturan V: jika panitia salah, status panitia kembali ke pasal IV bahwa panitia tidak pernah salah) Tentu ini sesuatu yang menarik bukan. Aturan ini memang telah kukenal sejak zaman SMA, tapi sejujurnya baru kali ini dibacakan blak-blakan di depan kami. Hahaha
Maka tidak perlu bertanya lagi bagaimana kami menikmati masa penggojlogan ini. Hanya, aku mendapatkan nuansa yang luar biasa. Tidak satupun instruktur yang membentak-bentak kami apalagi dengan kata-kata kotor. Hanya, lirikan matanya cukup membuat kami segera jalan jongkok, merangkak, koprol, dan segala aktivitas fisik menyehatkan sekiranya itu telah menjadi kebiasaan harian kami. Setidaknya, kami hanya merasakan capek selama melakukan hal itu sampai cengar-cengir. Perkara badan pegal-pegal itu urusan pulang nanti bukan.