Bersyukurlah Menjadi Guru SD

Sabtu ceria, saatnya aku terjun lagi di satu tantangan baru, mengajar PAI di kelas I. Tentu saja menjadi hal yang unik lagi menantang mengingat sudah dua tahun aku absen dari dunia TPA. Dunia yang memberiku banyak ilmu bagaimana bergaul dengan anak-anak dari yang kecil-kecil sampai besar. Dunia yang selalu sarat dengan tawa, tangis, dan serangkaian ulah yang menarik perhatian. Dunia itu sudah kutinggalkan lama sejak aku memutuskan untuk menekuni dunia maya untuk mengasah hobi menulis dan browsing yang telah lama mati.

Kini aku kembali harus mengeluarkan jurus-jurus andalan di masa lalu itu untuk menghadapi anak-anak super imut yang menggelikan itu. Mengajar PAI selama 4 jam pelajaran untuk anak-anak yang baru mulai mengenal huruf dan bermain sambil sesekali berkelahi tentu berbeda dengan mengajar anak kelas VI yang sudah mulai bisa diajak berpikir dan sesekali diracuni dengan motivasi dosis tinggi.

Bercerita dan menyanyi adalah senjata andalan guru untuk merebut hati mereka. Dan tentu saja itu kuterapkan pagi ini. Kata Pak Munif Chatib, mendidik itu kewajiban guru. Tetapi untuk mendapatkan kesempatan mendidik itu, seorang guru harus dapat merebutnya dari hati siswa. Guru boleh saja bersemangat untuk mengajar, tetapi belum tentu siswa memberikan mandat kepada guru untuk mau diajar dan dididik. Jadi bukanlah hal penting jika ada guru yang mengaku mendedikasikannya untuk pendidikan, sementara pada kenyataannya siswa tidak menaruh simpati padanya karena tidak ada inspirasi atau keteladanan yang patut diambil darinya sedikitpun.

Dengan kisah Nabi Sulaiman dan lagu tentang Rukun Islam yang dipopulerkan oleh para ustadz/ah TPA-TPQ di Jawa, akhirnya sebagian besar perhatian siswa berhasil kudapatkan. Alhamdulillah, setidaknya para bintang kelas yang menjadi trouble maker segera teridentifikasi untuk mendapatkan penanganan khusus. Keinginan mereka untuk mendapatkan perhatian lebih banyak hingga ada yang ternyata sudah mulai memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya menjadikan pelajaran hari ini dipenuhi pariwara yang berlalu.
Maklum, seperti yang pernah kuceritakan tentang aktivitasku yang suka observasi ga jelas itu, di kelas ini pun ada satu gadis cilik yang paling bersinar. Pikirku, dia kelak akan menjadi salah satu kembang terindah Berau. Tapi yang bagiku memilukan, ternyata sudah ada anak SD yang mengerti arti cinta dan pacaran. Bahkan di awal aku masuk kelas, si botak ini begitu tampak sok gagah di hadapan gadis impiannya yang sudah tampak bersinar itu. Alamak, ini ironi yang sangat tidak lucu. Masih mending aku, karena aku udah sampai untuk berpikir soal begituan mengingat saat ini juga tidak henti untuk persiapan dan melakukan observasi tingkat tinggi sebelum kelak memilih si dia yang paling bersinar.

Singkat cerita, kelasku hari ini cukup lancar meskipun insiden tangis dan perkelahian kecil mewarnai 4 jam pelajaran jam agama Islam. Kisah anak yang berbakti, ratu Bilqis, tepuk lagu Rukun Islam hingga tugas menulis lirik lagu tersebut cukup untuk memberiku gambaran bahwa anak-anak di sini masih potensial untuk dididik lebih baik. Lagi-lagi mereka adalah bibit unggul yang terpaksa tumbuh di tanah gersang. Semoga mas Baihaqi tetap semangat untuk mengemban tugas mulia ini, yakni membangkitkan kesadaran para guru di sini untuk mengabdi selepas kepergian kami nanti.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.