Refleksi Akhir
Film The Last Supper adalah salah satu potret yang nyata bagaimana buruknya akibat yang ditimbulkan ketika orang-orang diliputi oleh ambisi kekuasaan. Aku seperti tidak sedang melihat China yang memang dalam kurun waktu yang panjang sejarahnya terus berganti penguasanya, mulai dari masa pra sejarah yang dikenal dengan Tiga Penguasa dan Lima Kaisar, kemudian berlanjut pada Dinasti Xia, Dinasti Shang, Dinasti Zhou, Dinasti Qin, Dinati Han, masa Tiga Kerajaan, Dinasti Jin, masa 16 Kerajaan, masa Kekaisaran Utara dan Selatan, Dinasti Sui, Dinasti Tang, Masa 5 Dinasti dengan 10 Kerajaan, Dinasti Liao, Dinasti Sung, Dinasti Yuan (Mongol), Dinasti Ming, Dinasti Qing, hingga akhirnya menjadi negara China modern seperti sekarang. Aku justru melihat Indonesia hari ini yang sedang belajar untuk menjadi negeri yang besar ketika merefleksikan film itu.
Di setiap masa mereka, ada masa jaya ada tokoh-tokoh hebat yang selalu mereka kenang. Bahkan setahuku, negeri yang berpenduduk terbesar di dunia itu tidak banyak memiliki perselisihan tentang kisah sejarah dan kepahlawanan mereka. Bahkan para pahlawan dari kalangan minoritas pun, seperti Cheng Ho (Zheng He) yang merupakan laksamana muslim mereka banggakan sebagai salah satu orang China yang berhasil memberikan kontribusi bagi kejayaan negeri Tiongkok itu. Terlepas dari diskriminasi pemerintah China hari ini kepada orang-orang Xinjiang yang merupakan suku Uyghur muslim. China adalah salah satu negara besar yang perlu kita tiru bagaimana mereka menghargai jasa para pahlawan pendahulu mereka.
Kisah pada film tersebut membuatku untuk melihat kenyataan tentang negeri ini. Negeri yang masih berusia sangat muda dari tarikh sejarahnya. Negeri yang bisa dibilang tingkat kengerian sejarahnya masih relatif kecil dibandingkan dengan peradaban besar lain di dunia. Negeri yang pernah disindir oleh Inderagani, sebagai tempatnya para pengecut yang lari dari dataran tinggi Yunan.
Benarkah asal mula nenek moyang bangsa kita hanyalah orang-orang pengecut yang takut ditindas para penguasa Tiongkok? Kita tak pernah punya bukti sejarah. Dan akan sangat buruk jika kita meyakini hal itu. Padahal kita juga punya sejarah sendiri yang telah mencatatkan kejayaannya di negeri ini. Sejak masa pra sejarah, kemudian ke kerajaan Hindu-Buddha, masa kesultanan di penjuru nusantara, masa-masa perang melawan kolonialisme (aku tidak setuju dengan masa penjajahan Belanda), masa pergerakan nasional, masa perang mempertahankan kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin (orde lama), masa orde baru, hingga masa reformasi hari ini kita telah menorehkan kejayaan di masa masing-masing.
Yang kurang dari diri kita adalah menghargai sejarah kita. Menemukan jati diri kita sebagai bangsa yang dititipi kekayaan alam yang terlewat banyak. Kekayaan alam di negeri kita bukan lagi dikatakan banya, melainkan melimpah ruah tak terkira banyaknya. Hanya saja mengapa kita seperti bangsa yang tidak memiliki apa yang ada di tanahnya sendiri. Sifat pengecut, mental munafik, iri dan dengki, serta egoisme membuat sebagian kecil orang-orang di negeri ini tumbuh menjadi tiran yang menindas banyak rakyat dan membunuhi orang-orang mulia di negeri ini.
Mari kita hargai diri kita, mari kita ingat sejarah kita, dan mari kita bangun lagi kebanggaan kita sebagai orang Indonesia. Karena kita adalah bagian dari manusia di bumi yang berhak untuk menjadi raja. Raja yang sesungguhnya untuk kerajaan diri kita, yang kuasa memerintah untuk mengikuti kehendak-Nya.