Hari ini diminta untuk menggantikan salah satu khatib yang berhalangan hadir untuk mengisi khutbah Jumat di masjid yang kutempati. Dalam persiapan yang mendadak itu akhirnya kusiapkan sebuah materi yang menyangkut hal-hal kemasyarakatan yang selama ini terabaikan. Kuberi tema “Bersyukurlah terlahir sebagai muslim di Indonesia”.

Yah, kita sebagai orang muslim yang terlahir di Indonesia seharusnya bersyukur. Diberi anugerah kekayaan alam yang luar biasa. Meskipun saat ini kita sedang tidak bisa menikmati tambang dan sektor-sektor strategis di bumi pertiwi lantaran sedang di pinjam pakaikan ke asing, kita masih bisa menikmati alam yang menyediakan sumber kehidupan untuk kita dengan sangat murah. Tidakkah ini kita sadari sebagai bentuk kasih sayang-Nya untuk negeri ini.

Di kehidupan kita bisa menikmati banyak hal dengan harga yang terjangkau. Terlebih yang saat ini tinggal di Jawa, kita masih bisa menikmati berbagai makanan dengan harga murah. Ibaratnya di Solo untuk dapat makan kenyang dengan menu bergizi dan lezat tidak sampai 30 ribu per harinya, atau tidak ada 3 Euro. Hal ini tentu berbeda ketika aku pernah merasakan tinggal sebulan di Eropa di mana kalau tidak bisa masak sendiri jelas tekor karena kalau jajan di restoran minimal 3-4 Euro untuk satu porsinya. Di kantin kampus pun sudah mencapai kisaran 2-3 Euro. Maka bersyukurlah kita terlahir di tanah yang kita masih bisa merasakan iklim kehidupan yang murah ini.

Dalam beragama, meski terkadang diwarnai bumbu perselisihan, negeri ini masih menawarkan kenyamanannya. Kita hampir bisa mendengar adzan berkumandang di setiap tempat, khususnya setiap waktu Maghrib dan Subuh. Di negeri ini, kita bisa bersujud dengan tenang ketika saudara-saudara di negeri lain harus menghadapi tekanan sebagai minoritas, dalam suasana perang, atau terhambat karena aturan negara yang memang belum membolehkan aktivitas yang paling asasi dari setiap manusia yang beragama itu. Tidakkah kita bersyukur dengan anugrah yang luar biasa ini. Bahkan kerukunan kita dengan umat beragama yang lain juga jauh lebih baik, meski saat ini terkadang media sering memperkeruh suasana dengan pemberitaanyang memang cenderung menciptakan permusuhan berkelanjutan.

Sesungguhnya masalah di negeri kita tidak benar-benar mengerikan semengerikannya di Palestina atau Afghanistan. Masalah kita tak sebegitu rumit seperti rumitnya masyarakat Rohingya di Myanmar atau Uyghur di Xinjiang China. Masalah kita sebenarnya terletak pada kebodohan kita yang enggan mempelajari ajaran agama Islam ini dengan baik dan meniru akhlak seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Kita saja yang banyak mengeluh, banyak protes, banyak menyalahkan, dan bahkan banyak berkata kotor, kasar, lagi mencaci. Kemudian kita juga sering melanggar peraturan yang telah kita pahami, baik dengan tanpa sadar atau mungkin justru kita sengaja.

Setiap hari kita mendengar adzan berkumandang lima kali, dan itu adalah tanda bahwa kita harus menghentikan aktivitas kita untuk sejenak menundukkan hati dan memohon keselamatan atas dosa-dosa kita, tapi mari kita lihat berapa masjid yang segera terisi oleh jamaahnya. Bahkan ada yang terang-terangan meninggalkan apa yang menjadi pilar agama itu, atau sengaja memilih sendiri di rumah sebagai kebiasaan rutinnya. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa di luar sana, saudara-saudara kita yang beragama Islam tak pernah mengerti arti penting dari panggilan Shalat dan mengapa harus berjamaah di masjid. Inilah tugas kita para intelektual muslim dan orang-orang yang sudah mengerti untuk mengedukasi mereka, dan tentunya mengedukasi orang ya dengan akhlak yang santun, bukan menggurui, apalagi menghakimi.

bersambung …..

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.