Kemarin waktu habis mengisi training teman-teman UNY di Kaliurang aku terdampar lama di Stasiun Lempuyangan. Banyak hal yang kupandang telah berubah saat ini. Mungkin juga karena aku sangat jarang naik kereta kalau bepergian. Lebih enak berpacu bersama si Hitam. Namun kali ini aku ingin merasakan kereta baru PT KAI sehingga aku memutuskan untuk menggunakan kereta dan mengandangkan si Hitam di Stasiun Balapan, stasiun kenangan yang mengingatkanku pada lagu-lagu indahnya Didi Kempot.

Di stasiun yang relatif padat dan ramai itu aku melihat banyak hal yang tidak kutemui 3-5 tahun yang lalu. Mulai dari sekelompok pemudi, lebih tepatnya usia-usia ABEGE hanya bercelana mini dan nampang di kursi antrean penumpang dengan gaya-gaya artis yang juga ga jelas (apanya yang menarik) dengan segala aksesorisnya. Kemudian ada seorang satpam yang sangat baik melayani penumpang yang tunanetra ditengah kecuekan public sore itu. Hingga ketemu teman yang ramah dan wajahnya mirip ketua SKI FKIP yang sekarang, langsung akrab padahal aku juga tidak tahu namanya (karena belum sempat kenalan keburu ngobrol ngalor ngidul sampai keasyikan). Untungnya aku ga nanya, mas kakaknya si ….. ya? Begitulah pemandangan sore itu.

Pak Harto Tersenyum

Nah, dari sekian pemandangan yang aneh-aneh itu ada pemandangan yang menantik pikiranku. Yaitu penjual kaos yang disana bergambar pak Harto tersenyum, dengan tulisan “Piye kabare? Isih penak jamanku to“ (Bagaimana kabarnya? masih enak pada zaman saya kan). Senyum Pak Harto yang memang misterius itu sangat fenomenal. Konon, bagi rival-rival politik beliau, senyumnya adalah kiamat kecil bagi mereka. Yang pasti ingatan itu tertuju pada beberapa kejadian masa lalu yang bersambung hingga sekarang.

Jika mencermati era reformasi yang katanya dulu digaungkan dan berhasil diletuskan sebagai solusi atas rezim penindasan orde baru nyatanya hari ini juga tidak ada jawabannya. Tiga tahun berlalu dari reformasi, para elit negeri ini masih bisa berkata kan masih proses. Lima tahun, delapan tahun, hingga sepuluh tahun, bahkan sekarang menjelang 12 tahunnya ternyata kondisi Indonesia bukannya makin jelas seperti yang dijanjikan oleh reformasi tetapi semakin kacau balau. Maaf kata-kata yang mengakhiri kalimat ini biasanya muncul dari kalangan akar rumput yang tidak mengerti konstelasi politik negeri ini tetapi hanya menilai berdasarkan sudut pandang visual dan pengalaman hidup terbatas.

Memang sih, sekarang enak, berkicau sembarangan enak, mulai dari media elektronik, cetak, hingga jejaring sosial yang belakangan menjamur. Rekayasa dan pembentukan opini publik pun sangat mudah, apalagi kalo corong-corong media berada di genggaman kekuasaan. Kata salah satu komisaris KPI dalam sebuah kolomnya di suatu media online, kita memang selamat dari rezim tentara, tapi sekarang malah memasuki rezim media. Kalau rezim tentara, menentang paling banter cuma diciduk kemudian di bunuh, yang nentang (tapi dalam hati) insya Allah selamat. Tapi sekarang menentang rezim media, tidak ada selamatnya kecuali yang memang mereka menyelamatkan diri. Kalau nyata-nyata menentang, opini publik dirinya bakal rusak oleh media, kalau diam tapi terus melototin lama-lama juga ikut ngacau mikirnya karena penetrasi opini yang luar biasa. Kalau menjauh juga terkadang tidak gaul karena ketinggalan informasi. Susah banget ini kalo mau dipikir.

Kaisar Media

Dengan berkuasanya rezim media yang tak pernah diketahui pengendali sesungguhnya, (banyak yang menduga bahwa medianya si Anu itu pasti telah diperintah si Anu untuk memberitakan yang beginian, tapi apakah memang benar 100% begitu?) maka hari ini Indonesia itu adalah negeri yang terlihat buruk. Bayangkan, setiap hari beritanya kalau tidak kriminal ya skandal, atau pencitraan seseorang sampai kentutnya aja jadi berita. Atau juga gosip-gosip para artis yang secara tidak langsung adalah pembelajaran buruk bagi masyarakat yang terlanjur bermental miskin tapi ingin punya banyak uang dan fasilitas. Atau sinetron-sinetron dan berbagai konser musik yang sebenarnya lebih terlihat buang-buang waktu. Semua berjalan sak karepe dhewe tanpa ada sebuah kontrol yang jelas dari pemegang kedaulatan negeri ini.

Memang kedaulatan itu ada ditangan rakyat. Permasalahannya rakyat yang seperti apa seharusnya? Rakyat yang tiap hari hura-hura dan tidak kerja gara-gara cuma joged-joged di depan panggung? Atau rakyat yang tiap hari hanya mengeluh dan memprotes kenaikan gaji sementara kapasitas dan hasil kerjanya saja dipertanyakan kualitasnya? Atau rakyat yang mudah diombang-ambingkan dalam berbagai isu karena kekuasaan rezim media yang mengerikan seperti hari ini? Mari tertawa saja, agar kita ikut-ikutan menggila dari pada dipikir susah-susah. Kan nonton acara TV atau baca berita itu urusan pribadi, benar, jadi silahkan baca dan isi kepala kita dengan sampah yang berserakan itu.

Padahal negeri ini punya segudang potensi baik dan kebaikan yang tersimpan di dada-dada para penduduknya dan seluruh jengkal tanah dan air yang terhampar dari Sabang – Merauke. Hanya saja potensi itu tertutupi bahkan kini tersekat oleh buruknya persepsi mereka sendiri, dan selimut rezim media yang semakin kuat mencengkeram ibu pertiwi. Terlepas benar tidaknya media itu dikendalikan oleh pemiliknya sendiri demi kekuasaannya. Yang pasti media hari ini telah mampu mengubah setiap makhluk yang bisa membaca dan melihatnya menjadi pasukan baru yang mirip Uruk Hai (di film The Lord of The Rings) dan setia di bawah perintah mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.