Mungkin gara-gara itu salah satu faktornya, kini optimisme bangsa perlahan mulai surut. Banyak yang bertanya, “Bisakah Indonesia menjadi lebih baik?”. Banyak yang bilang, ah sudahlah, jangan sok idealis, nanti kalau kita tidak ikut arus nanti bakal mati digilas oleh realita. Benarkah? Sebegitu pesimiskah kita. Tak kita lihatlah bahwa NKRI ini sangat luas yang hingga kini setelah proklamasi itu tak ada satupun makhluk asing, entah itu bernama CIA, FBI, atau bahkan Mossad yang berhasil mencerai-beraikannya secara terbuka. Belum lagi dengan masyarakatnya, kekayaannya.
Memang sekarang kita semakin merasa kacau dengan berbagai hal yang tidak jelas ini. Sekolah jadi tidak jelas, jadi guru juga sepertinya semakin tidak jelas arahnya (cuma semakin jelas gajinya), jadi pegawai negeri lebih tidak jelas lagi (karena banyak yang sekarang kerja santai padahal mereka memakan uang rakyat cukup banyak, kalau saja kita boleh menyebut APBN itu dengan Baitul Mal pasti tahulah rasanya). Tapi apakah itu alasan untuk kita yang masih sekarang mengerti itu kemudian ikut-ikutan berkata, Indonesia sudah kacau dan hancur. Atau malah sekalian berbasah ria dan ikut menikmati kekacauan ini.
Masih ada waktu untuk mengembalikan senyum Pak Harto yang katanya dulu mengerikan itu. Jika kita memandang senyum Pak Harto itu adalah perlambang rezim militer yang kejam tapi santun, haruskah kita mengelak bukti bahwa saat itu juga negeri kita mengalami keteraturan pembangunan (meskipun konon utang sih dari kapitalis barat) dan rakyat bisa hidup tenteram (kebanyakan rakyat di akar rumput pasti jujur berkata bahwa zaman Pak Harto itu lebih enak, namun tidak bagi kita para kaum intelektual). Itulah yang bisa dicontoh dari masa beliau, meskipun sisi yang lainnya kejam dan menyakitkan kita.
Hari ini senyum anak sekolah hilang karena sekolah itu tidak menyenangkan. Karena belajar itu menjadi sebuah beban, bahkan terkadang mencabulkan (karena belakangan beberapa guru mulai gerah dengan bantuan-bantuan buku bacaan yang sebenarnya tidak sesuai untuk siswa sekolah). Senyum petani dan masyarakat desa hilang karena dukungan pemerintah yang minim dan tingginya impor atas ambisi para pengusaha. Senyum para elit negeri ini menjadi menakutkan, karena itu kamuflase untuk saling menjatuhkan ketika kesempatannya tiba. Tinggal satu senyum yang masih indah menurutku, senyuman Pak Harto.
Mengembalikan Senyum Pak Harto
Jika di masa beliau, kita hampir saja memiliki industri pesawat terbang, apa yang bisa dimulai lagi hari ini? Dalam hitung-hitungan bodoh jangka panjang, ketika Indonesia memiliki industri pesawat terbang, secara tidak langsung itu adalah proses akselerasi untuk menunaikan janji kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejarhteraan. Kata Pak Habibie, ketika semua pulau di nusantara itu terhubung, tak mudahkah sektor ekonomi itu tumbuh pesat?
Memiliki pesawat sendiri itu akan mengurangi beban impor teknologi (karena impor pesawat berarti impor teknisinya juga, kalo punya sendiri berarti pasti akan ada sistem yang terbangung bersamaan dengan pesatnya industri pesawat, sehingga banyak terlahir putra bangsa yang cerdas dan menjadi aset terbaik sepanjang masa). Dengannya maka kebijakan nasional tentang pendidikan pasti akan terus diperbaiki sehingga pendidikan bangsa ini mengalami kemajuan. Dan itu akan menjadikan bangsa ini berpola pikir maju dan modern, mirip-mirip Jepang lah.
Ketika pola pikir bangsa kita maju, masihkah kita sibuk mengurusi dimensi politik secara berlebihan seperti hari ini? Ketika sebagian besar orang hanya sibuk ngurusi politik tapi tidak memahami realitas politik. Ada juga sekelompok orang yang anti dengan politik? Memangnya ada negara berjalan tanpa sebuah sistem politik. Tidak salah memikirkan politik, tetapi salahnya adalah jika semua dipolitisi akan terjadi kerusakan hebat yang multidimensional.
Aku bukan pemuja Pak Harto. Tetapi melihat senyumnya yang masih indah hingga hari ini, aku masih yakin bangsa ini bisa bangkit kembali. Sudahlah, mari kita kembali dengan membangun value diri masing-masing. Tidak usah berapi-api ketika berdemonstrasi apalagi menentang berbagai kebijakan pemerintah yang kita sendiri kurang mendalami permasalahannya. Tidak usah sok suci dengan diri kita sehingga membatasi berbagai ruang komunikasi dan pertemanan kita.
Beliau mungkin menyisakan kepahitan sejarah yang memilukan, yakni mendistorsi sejarah bangsa ini. Namun apa yang pernah beliau perbuat selama 32 tahun seharusnya juga ada yang bisa diambil pelajarannya, yakni membuat bangsa ini tertata dan bergerak membangun meski pun sampai kejatuhannya bangsa ini belum sampai pada akhir pembangunan fisiknya menuju negara modern. Setiap pemimpin selain Rasulullah pasti memiliki kekurangan, apakah itu yang harus selalu diperbincangkan dan ditertawakan? Kotor banget mulut kita. Mari kita berbicara yang baik-baik tentang mereka saja.
Ajakan membuat kumpulan tulisan tentang opini-opini baik untuk para presiden Indonesia pernah terlontar dari salah satu adikku yang keren. Haruskah kita benar-benar menulis? Sepertinya penting untuk mengganti bacaan-bacaan berita di koran yang kian tidak bermutu, atau buku-buku lawakan yang laris dan kurang berbobot itu. Mari kita kembalikan senyum Pak Harto untuk bangsa ini.