Aku melihat wajahnya senyum-senyum dengan penuh tanda tanya. Yah, itulah adikku dari Jakarta yang tadi baru saja menghadiri acara halal bi halal SIM di desa mitranya Tunggul Rejo, pinggir kota Surakarta. Malam ini terasa dingin namun dihangatkan oleh senyuman Pak Yanto dan rekan-rekan karang taruna yang menyambut kami dengan ramah. Ini adalah kunjungan kedua kami, keluarga SIM secara masal di tempat yang ke depan akan kami jadikan tempat belajar dan mencoba dekat dengan masyarakat.

Ketika acara telah dimulai, semua hal yang disampaikan ternyata diutarakan dalam bahasa jawa, bahkan hingga pembacaan terjemah tilawah sekalipun. Akhirnya aku dan adik-adikku yang asli suku Jawa senyum-senyum memandang adikku yang asli betawi itu sambil bertanya, paham ga adik? Dia membalas senyum kami dengan menggeleng kepala.  Ha ha ha, rasanya ingin ketawa, tapi juga kasihan. Yah, 3,5 jam datang di acara pengajian dusun, tidak paham pula apa yang disampaikan. Ga kebayang dek kalau itu aku yang mengalami. Dan malam itu pula aku belajar kepada adikku yang keren ini tentang bagaimana bertahan dalam kondisi. Dia betah tuh sampai acara berakhir, padahal aku sampai bisa tidur dua seri loh.

Namun yang lebih parah lagi adalah adik-adik yang tulen Jawa ternyata masih ada yang tidak tahu beberapa pembicaraan di sini. Ketika hadirin diminta jumeneng ternyata ada yang bengong juga. Trus berbisik ke arahku, mas jumeneng itu artinya apa? What? Ternyata ada peranakan asli yang belum tahu. Jumeneng itu berdiri adik. Akhirnya kami semua mengikuti rangkaian acara dengan khidmat.

Sebuah pelajaran berharga untuk siapa pun yang menjadi mahasiswa dan terpanggil untuk jadi bagian dari masyarakat. Kedudukan dan title yang akan kita sandang nantinya hendaknya tidak membuat kita makin “bodoh” dari realita sosial. Hendaknya tidak membuat kita “alien” di tengah bahasa masyarakat yang sangat senderhana. Hendaknya tidak membuat kita “penguasa” di saat kondisi masyarakat dalam keterbelakangannya. Kita lah yang harus banyak belajar dari mereka tentang arti bertahan dalam gempuran kapitalisme. Mereka para prajurit garis depan yang sering dikorbankan pemerintah, namun mereka tetap bertahan bagaimana hidup. Merekalah masyarakat kelas bawah yang akan menjadi pengganjal pahala orang-orang yang memimpin karena disebabkan abai dan zalimnya pemimpin itu kepada masyarakat.

Semoga kita kelak menjadi insan yang amanah ketika mendapat kesempatan oleh Allah untuk membersamai mereka. Kecerdasan dan kelebihan kita adalah untuk berdaya bersama mereka, bukan memperdayakan mereka.

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.