Dan ini pandanganku atas rangkaian kisah panjang tadi.
Tadi pagi beliau katanya mengisi di SMA Insan Cendikia, awalnya aku mau datang ke sana. Tapi karena sempat bingung dengan rute yang ditunjukkan oleh temanku (padahal seandainya diberi tahu tempatnya aku langsung meluncur ke sana), karena sudah terlalu siang ditambah salah kostum dan panggilan pulang dari ortu akhirnya aku urungkan niat untuk bertemu sang Inovator idolaku yang selalu kukagumi itu.
Setidaknya Allah telah memberiku kesempatan untuk menjejakkan kaki di kota Aachen, tempat bersejarah bagi Habibie yang menempa kecintaannya kepada Indonesia. Aku menangis waktu melihat film Habibie-Ainun saat kedua tokoh yang diperankan Reza-BCL itu sedang berlibur di kota Aachen, aku masih mengingat betul detail kota yang sangat berkesan itu.
Kemudian ketika aku membaca tulisan beliau yang berisi tentang visi besar sang Proklamator tentang pentingnya bangsa ini mengenal dan menguasai teknologi kedirgantaraan dan maritim, aku sangat memuncak dan emosional. Yah, hari ini aku menjadi mahasiswa di pendidikan fisika juga merasakan ada hal-hal konyol yang kupelajari selama di kampus. Entahlah, ini bukan masalah perkuliahan dan dosennya, atau tentang kemalasanku mengerjakan tugas akhir. Tetapi tentang perkawinan ilmu yang tidak pernah terjadi di dunia intelektual Indonesia hari ini.
Aku tersinggung bagaimana ilmu fisika teknik yang telah mengorbankan hari-hari mahasiswa di fakultas teknik dan eksak lainnya untuk mengerjakan laporan dan tugas yang begitu berat harus dikebiri dengan hitung-hitungan akuntansi versi iblis. Entah bagaimana ceritanya dunia kontraktor hari ini yang selalu berselingkuh dengan kebanyakan wakil rakyat dan pucuk pimpinan negeri ini. Sehingga sebanyak apa pun anggaran yang diberikan maka pembangunan fisik kita cacat, apalagi pembangunan non fisiknya, bukan saja cacat, banyak yang nihil.
Aku juga resah dengan banyaknya pemborosan kertas di universitas dan institusi keilmuwan yang katanya jadi representasi kualitas SDM suatu bangsa, yang katanya menuju internasionalisasi. Baik untuk laporan atau berbagai keperluan yang lain. Setiap ratusan rim kertas, maka akan ada alih fungsi hutan dari hutan tropis menjadi hutan produksi. Dan itu artinya perguruan tinggi termasuk salah satu institusi yang menyumbang proses alih fungsi hingga penggundulan hutan akibat sistem digitalisasi yang tidak diinisiasi dan dijalankan.
Aku kian jengah dengan politisasi yang memasuki kampus. Bukannya aku menolak politik, apalagi anti-politik. Bahkan aku berkata politik itu indah bagi yang bisa memainkannya. Tetapi ia akan kotor dan menjijikkan di tangan orang-orang bodoh. Kini dalam pengisian jabatan dan berbagai hierarki kentara sekali nuansa politisasinya dari pada nuansa sinerginya. Entah mengapa dan apa sebenarnya isi kepala orang-orang itu sehingga berani melanggar nasihat Rasulullah untuk mendengarkan isi pembicaraan dan tidak melihat siapa yang berbicara, tapi kini hal itu terbalik sudah.
Dan kini aku memilih menjadi orang yang sepi dari sentuhan dunia politik yang melenakan itu. Berurusan dengan uang negara itu teramat berat. Setidaknya cukuplah aku menikmati subsidi uang rakyat dari biaya kuliah yang murah. Tapi tidak untuk beasiswa. Selagi aku bisa meraih beasiswa dari swasta dan CSR perusahaan itu lebih menentramkanku dari pada berdiri di atas penderitaan rakyat Indonesia. Kalau pun kelak harus mengenyam beasiswa itu, maka sudah pasti aku harus bersumpah setia untuk meneruskan perjuangan para founding fathers bangsa ini.
Di waktu-waktu ini, aku pegang nasihat Pak Romi dan tim Beastudi Indonesia, mari kita berjuang di kesunyian. Di kesunyian itu akan memungkinkan kita untuk lebih banyak berbuat dari pada berkata. Di kesunyian itu aku melihat bukti dari murabbiku yang membimbingku hari ini, dari para inspiratorku hari ini, dari guru jurnalistikku, dari para seniorku yang kini masih teguh di atas idealismenya, bahkan dari Allahyarham Kyai Haji Muhammad Hussein yang selalu berkata, “Aku tetap akan mengajar sampai kelak aku mati, karena tidak ada istilah pensiun bagiku“. Dan Allah melunasi janjinya di usia 80 tahun dengan ingatan yang masih tajam berkilat, lisan yang fasih untuk bertilawah dengan merdu dan berbahasa Arab, dan shalat malam yang tak pernah berhenti kecuali 7 hari sakit menjelang kematiannya.
Saatnya untuk bersembunyi. Semoga Allah sembunyikan aku dari keramaian yang tidak berguna ini. Aku memilih berada di dalam alam yang damai ini. Karena ini pun tak berarti zona nyaman, tapi setidaknya ia lebih nyaman karena setiap kesalahan akan terdengar nyaring, setiap kegundahan hati akan segera mudah diistighfari, setiap kelalaian akan segera diganti dengan keinsyafan. Di kesunyian, maka aku akan menemui alam indah seperti Pak Kliwon yang kisahnya kini diabadikan dalam buku kami yang pertama.