Jangan sekali-kali melupakan sejarah, itulah pesan dari proklamator kita, Presiden Soekarno. Presiden yang pernah dimiliki bangsa ini yang keberaniannya teruji dan membuat Australia kehilangan nyalinya.

Hari ini seolah kita tidak pernah mengenal siapa kita yang pernah berjaya di masa Sriwijaya, Majapahit, hingga masa-masa keemasan kerajaan mataram dan kesultanan Islam yang gigih berjuang melawan penindasan VOC dan Belanda. Hari ini dengan mudahnya anak-anak muda berhura-hura ria terhanyut dalam berbagai budaya peradaban asing yang kian menggerus nilai-nilai ketimuran bangsa kita yang luhur.

Tak terkecuali hal itu meliputi dunia aktivis hari ini. Aktivis-aktivis kampus hari ini seolah berada di ambang kejenuhan pergerakan. Strata hidup ternyata tidak hanya berlaku dalam realita umum di masyarakat. Belakangan di dunia aktivis kampus, seolah mahasiswa kian terkotak-kotakkan dalam realitanya. Ada mahasiswa yang cuek bebek dengan realita kepemimpinan kampus, ada yang ngambang dan milih mana yang lagi ngetrend, ada kalangan folower yang ngikut mana yang udah jadi sandaran tapi kurang bersemangat belajar, ada yang memang golongan-golongan leader yang siap tempur.

Dan menurut informasi yang dibicarakan dari mulut ke mulut (tentunya mulut aktivis juga) komposisinya semakin tidak seimbang. Jumlah mahasiswa aktif yang notabene dapat stempel aktivis menjadi terus berkurang, sisanya lebih banyak berkutat pada mahasiswa yang ngambang dan cuek bebek. Yang jadi folower biasanya semangat di awal-awal (maklum pada saat awal kan ibarat banyak promo yang dapat diraih dari mas-mbaknya), namun diakhirnya bisa jadi mreteli satu per satu. Entah karena kecewa (gara-gara subsidi diputus) atau hal-hal yang memang tidak menarik lagi.

Menurut hemat saya, di sini ada sisi pengkaderan yang sering kali terlupakan karena tuntutan yang instan untuk segera menguasakan mereka pada ladang-ladang kekuasaan yang telah digenggaman. Salahkah? Aku tidak mau bicara benar salah dan tidak penting divonis masalah seperti ini. Tapi ada fitrah yang sering dilupakan bahwa mencetak pemimpin itu adalah proses panjang. Ia tumbuh dari hati sebagai panggilan jiwa, bukan karena indoktrinasi apalagi obsesi kepopuleran.

Bagaimana kepemimpinan hadir sebagai panggilan jiwa? Itu hanya akan terjadi ketika hati-hati para pemuda itu resah dengan realita yang ada. Realita hari ini sebenarnya ada sebabnya. Dan itulah mengapa penting untuk menyambungkan generasi yang menjadi junior kita hari dengan sejarah yang juga seharusnya kita ketahui sebagai senior mereka. Adanya ketersambungan sejarah menjadikan setiap yang mendengar akan memilih untuk memutuskan apakah perjuangan itu dilanjutkan (karena memang kemudian tumbuh visi yang sama) atau berhenti di tengah jalan (artinya jelas dia memutuskan dirinya keluar dari jalur mata rantai yang bersambung ini).

Hari ini, kisah sejarah itu simpang siur (kalau tidak mau dibilang lenyap). Dalam konteks pergerakan dakwah, mari bertanya, masihkan kita bersungguh-sungguh menyusuri jejak shirah nabawiyah yang menjadi referensi utama sebelum referensi sejarah yang lainnya. Masih seringkah dilakukan pembicaraan yang melintasi lorong waktu dalam lintasan komet (artinya berbalik ke belakang sesaat mencari inspirasi dari kisah sejarah dan kembali ke realita kini untuk mencari solusinya) dalam setiap proses pembinaan generasi. Aku rasa hari ini kita kebanyakan retorika, termasuk berbicara untuk saling membenci dan bersaing satu sama lain.

Jadi mari kita mengenal sejarah kita. Aku tidak bilang sejarah yang mana. Tapi mari kita sepakati bahwa hanya dengan sejarah yang komprehensiflah kita akan mampu mencari penyelesaian yang sesuai untuk masalah-masalah hari ini. Ini bukan tentang meniru, tapi tentang inovasi dalam konteks sosial. Karena inovasi itu sebenarnya tidak hanya dipahami tentang riset terbaru, tetapi juga tajdid (menghadirkan nilai-nilai yang pernah ada dan menghilang).

Jika engkau aktivis dakwah, maka akan lucu rasanya jika kisah sejarah para nabi, terutama Rasulullah dan kemudian para sahabat tidak tercium sedikitpun dalam indera pikirannya. Jika engkau mengaku negarawan, maka sangat lucu jika kearifan para pendahulu bangsa ini luput dari pemahaman pribadinya. Bahkan jika engkau mengaku orang biasa sekalipun, maka belajarlah menjadi rakyat yang baik seperti saat berdirinya negara madinah yang diprintah Rasulullah dan Khalifah Rasyidah atau rakyat di masanya Umar bin Abdul Aziz. Sehingga tidak pethakilan dan susah diatur seperti sekarang.

Jauh sebelum Presiden Soekarno berpesan tentang pentingnya sejarah, maka Rasulullah telah mencontohkan bagaimana hidup itu agar banyak belajar dari sejarah dan pengalaman hidup di masa lalu, seperti yang juga banyak dikisahkan dalam al-Quran tentang nasib orang-orang terdahulu yang tidak tunduk kepada tuhannya. Sejarah sangat penting, untuk memberikan satu alasan terbaik bagi generasi ktia. Sambungkan mereka pada sejarahnya, niscaya visi besar kita akan diteruskan oleh mereka

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.