Dalam kombinasi matematika, dua hal dapat dirangkai menjadi beberapa kemungkinan. Begitu pula antara Islam dan Pancasila, pasti banyak kemungkinan rangkaian kombinasi di kepala setiap orang. Tetapi saya sendiri memilih mengakui bahwa Islam dan Pancasila adalah dua hal yang selaras, tidak saling bertentangan, tidak saling menegasikan, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Saya lebih sependapat dengan para ulama yang memiliki pandangan bahwa Pancasila dapat diibaratkan sebagai Piagam Madinah-nya bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang mayoritas Islam (terutama kala itu), nilai-nilai Pancasila sangat dijiwai Islam, bahkan dalam pemilihan kata jelas-jelas mengambil terminologi Islam, mulai dari adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, wakil. Kata-kata tersebut adalah serapan dari bahasa Arab, terkhusus menjadi mainstream peradaban Islam selama berabad-abad lamanya. Maka menafsirkan kata-kata tersebut sudah selayaknya kembali melihat sejarah Peradaban Islam.
Maka Pancasila itu (menurutku) lebih besar dari NKRI. Apalagi Islam (dalam keyakinanku) jelas lebih besar dari Pancasila. Keyakinan ini memberi konsekuensi prioritas berpikir dan bertindak. Artinya sebagai bangsa Indonesia, memahami kembali Pancasila dan melaksanakannya dengan baik itu lebih penting ketimbang meributkan realitas-realitas yang tak lain buah dari kesalahan dan penyimpangan pengamalan Pancasila selama beberapa dekade ini. Bagi umat Islam, merealisasikan nilai Pancasila sesuai dengan tafsir para ulama yang merupakan perumusnya bersama dengan para pendiri bangsa dari kalangan lainnya adalah bentuk komitmen ber-Islam sesuai dengan prinsip moderat (pertengahan).
Jadi ber-Pancasila itu pokok pikirannya, bukan ber-Indonesia. Karena Indonesia itu hanyalah konsep politik. Coba jika ditanya budaya Indonesia apa? Nggak jelas kan, wong kita ini gabungan dari ratusan bangsa yang memiliki kebudayaan masing-masing. Masak mau nonjolkan Jawa, Minang, Aceh, Bugis, dan yang disukai thok, itu rasis namanya. Bangsa Indonesia itu hakikatnya apa? kan juga tidak ada. Sekali lagi, nama Indonesia itu hanya konsep politik. Indonesia kan hanya nama yang dibuat untuk mengganti nama provinsi Belanda di Hindia Timur. Wilayah Indonesia adalah wilayah kepulauan Nusantara yang dahulu di bawah pemerintahan kerajaan Belanda. Maka ada NKRI atau tidak, yang penting adalah ber-Pancasila. Dan bagi umat Islam, semua dilandasi semangat ber-Islam karena Allah dan mengikuti Rasulullah.
Hari ini kita dihadapkan pada kondisi kehidupan tanpa kesepakatan nilai, tanpa aturan main yang fair, dan semua bebas berkicau kapan pun di mana pun. Maka tidak ada pilihan kecuali kita melakukan penyelamatan bertahap, dari diri, keluarga, dan (kalau bisa) masyarakat. Saya sangat terkesan dengan nasihat salah satu ulama yang hari ini masih hidup (semoga Allah menjaga beliau dengan kebaikan), “Yen sak dunya arep kafir, kafira kabeh, yen arep rusak, rusaka kabeh, ning aku tetep milih Islam, arep ngapa kowe?”.
Di tengah wacana homogen bahwa berhalus-halus itu identik baik, maka nasihat sederhana beliau tadi terlihat kampungan. Tapi menurutku itu adalah sebuah komitmen mendasar bagaimana ber-Islam. Hari ini kalau urusan halus-halusan, maling kebanyakan juga halus saat beraksi, baik melalui manipulasi kata-kata maupun yang mengendap-endap di kegelapan malam. Dan yang memanipulasi kata-kata, semakin halus biasanya makin gede jumlah yang dimalingnya.
Jadi, apakah Anda masih hafal Pancasila? #RaNyambungYa
Surakarta, 12 November 2015