Siang ini aku mendapat cerita yang lucu (sekaligus memprihatinkan).
Beberapa akademisi (lulusannya di atas S1) beradu argumen dengan temanku (yang bercerita lucu ini) tentang konsep pendidikan yang membebaskan. Ketika mereka ditunjukkan foto-foto anak-anak yang langsung belajar ke sumbernya (sawah, pasar, termasuk aktivitas naik gunung), salah satu sinis dan berkomentar, “Sekolah kok kayak gitu, anakku jelas ga bakal aku bolehin.”
Padahal cara paling efektif untuk mengajarkan anak belajar tentang pertanian adalah meminta mereka bangun pagi-pagi, kemudian mengikuti petani sejak dari persiapannya hingga sampai di sawah, memperhatikan detil aktivitas mereka, bukan membaca buku yang penuh fantasi bahwa bertani itu ……..
Dan yang bikin aku ngakak sekaligus senep, para akademisi ini adalah orang-orang yang belajar ilmu sosial, yang bidang kajiannya juga langsung berurusan dengan problematika masyarakat. Saya termangu, fenomena ini adalah problem serius di pendidikan negeri ini. Karena, setidaknya ada dua sikap konyol yang dimunculkan oleh para akademisi tadi. Pertama, seorang akademisi seharusnya menghargai fakta dan tertarik menelusuri, bukan langsung menghakimi dan menolak mentah-mentah. Kedua, jika orang yang konon digelari hebat di bidang sosial saja ternyata “nganu” begitu, alangkah naifnya.
Saya berharap orang-orang sejenis itu jumlahnya sedikit saja. Karena kalau ternyata jumlah mereka di institusi pendidikan banyak, maka wajar bahwa problematika masyarakat kita memang tidak banyak yang dibahas, apalagi dicari cara penyelesaiannya, apalagi dipraktekkan untuk diselesaikan. Dan tentu saja, para pembelajar yang menimba ilmu dari mereka sungguh malang sekali nasibnya. Iya malang sekali, mereka belajar ilmu sosial dari orang-orang yang justru antisosial sejak cara berpikirnya.
Surakarta, 11 November 2015