Memiliki politikus yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu memang jadi bikin serba salah.
Terhadap kepala negara, kita harus menghormatinya, karena itu simbol persatuan dan kebesaran kita bersama. Dia adalah wajah kita sebagai sebuah negara.
Tapi terhadap kepala pemerintahan, kita harus kritis dan ikut mengawasi, sebab ia dan pembantunya dimandati untuk mengelola uang ribuan triliun, pegawai yang jumlahnya besar dan sumber daya yang luar biasa besarnya.
Itulah mengapa banyak negara di dunia ini memilih tetap mempertahankan sistem monarkinya, meskipun telah menjadi negara modern. Sebab sistem monarki bisa mereka jadikan simbol supremasi kebudayaan dan persatuan mereka yang disucikan. Sementara urusan pemerintahan diletakkan di bawahnya untuk diperebutkan oleh para politikus.
Dengan pemisahan itu, rakyat tetap memandang raja, kaisar, atau siapa pun dalam ketinggiannya sebagai kepala negara. Di saat yang sama, rakyat bisa mengeluarkan kritik sepuasnya kepada para politikus yang menjalankan pemerintahan. Semua bisa berjalan di bawah payung sang kepala negara dan kesadaran kolektif yang terpelihara sebagai bangsa. Meskipun secara de facto pemerintah memiliki sumber daya lebih besar ketimbang negara, tetapi secara wibawa negara jauh lebih besar dari pemerintah, sehingga rakyat tidak bisa diperlakukan oleh pemerintah dengan semena-mena. Itu yang hari ini sedang tidak dirasakan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sedang bingung dan terbelah. Mereka tidak menemukan negara. Yang mereka temukan cuma pemerintah, itu pun ternyata perusahaan. Di dalam perusahaan isinya jebul cuma makelar yang hanya sibuk menumpuk keuntungan bagi diri mereka sendiri-sendiri.
Surakarta, 14 Mei 2019