Memulai kebiasaan memilah sampah, membuat ecobrick dan kompos organik itu, di samping membutuhkan pembiasaan rutin, juga perlu menumbuhkan rasa tanggung jawab bahwa “sampahku tanggung jawabku”.
Proses ini mirip dengan pembentukan kebiasaan shalat bagi seorang muslim. Jika orang tua hanya memaksa anaknya untuk melakukan shalat, tanpa berhasil menginternalisasikan rasa tanggung jawab dan merasa butuh akan shalat, pada saatnya anak lepas dari pengawasan orang tua, dia akan menyepelekan shalatnya.
Hal ini juga berlaku dalam urusan demokrasi. Kekacauan utama demokrasi di Indonesia saat ini sebenarnya adalah terlalu banyak orang yang hanya sibuk memilih dan menggembar-gemborkan dukungannya, bahkan kalau sudah mabuk kepayang dia terus menjadi pendukung sepanjang waktu. Padahal hal terpenting demokrasi itu adalah mengawasi, mengontrol, dan memberikan tekanan kepada para penerima mandat agar terus bekerja dengan benar.
Memilih politikus yang akan menjalankan mandat rakyat itu sama seperti kita menghasilkan sampah sehari-hari. Barangkali kebiasaan kita membuang sampah tanpa disertai rasa tanggung jawab, sekalipun sudah di tempat sampah, itu memang berefek pada cara kita berdemokrasi yang juga konyol. Coba kita lihat sejak 1998, selalu yang bikin gaduh adalah tentang kampanye dan dukung mendukung. Padahal demokrasi itu bermakna ketika rakyatnya punya standar tinggi terhadap politikus, sehingga hanya politikus yang bernyali besar dan berkualitas lah yang berani tampil di muka. Kuncinya, rakyatnya harus bawel, rajin mengkritik, bila perlu menuntut mundur para politkus yang mbolosan dan tidak bisa kerja.
Kebiasaan membuang sampah di tempatnya itu bagus untuk sebuah komunitas yang memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Bagi komunitas yang cara penanganan sampahnya baru sebatas mengumpulkan sampah, lalu menumpuknya di tempat pembuangan akhir sampah, membuang sampah di tempatnya itu mirip orang-orang Indonesia yang sangat rajin pemilu ke TPS hanya untuk memberikan suaranya kepada para calon anggota DPR yang tidak bermutu, mbolosan, dan tidak bisa kerja. Atau memberikan suaranya kepada calon Presiden dan kepala daerah yang ternyata hanya akan senang berbisnis dengan investor dan menggusur tanah-tanah yang didiami rakyat kecil. Maka, baik buruknya membuang sampah di tempatnya itu tergantung syarat berikutnya, yaitu ketersediaan sistem pengelolaan sampah yang baik.
Kebiasaan membuang sampah di tempatnya ini pun, jika ditarik dalam urusan shalat ibarat shalatnya umat Islam ketika mereka hidup dalam naungan kebudayaan yang masih dominan dengan syariat Islam. Padahal realita hari ini, umat Islam hidup dalam lautan global yang semua nilai kehidupannya cair dan saling membaur satu sama lain. Dengan adanya nilai-nilai seperti kapitalisme, sekulerisme, dll umat Islam yang rapuh dan tidak memiliki kesadaran shalatnya sendiri-sendiri akan terperangkap pada nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Ada orang yang shalat untuk tujuan kapitalistik, seperti mencari kekayaan dan membangun pencitraan diri. Maka, sebagaimana kesadaran mengelola sampah sendiri, yang utama dalam shalat adalah membangun kesadaran personal tentang shalat itu sendiri. Sehingga umat Islam memiliki karakter yang baik bersumber dari kebiasaan shalat yang dijalankannya.
Dengan demikian, untuk menyelamatkan lingkungan kita, mari kita mengelola sampah kita semaksimal mungkin. Sebab kita belum memiliki pemerintahan yang punya perhatian soal lingkungan. Mengapa bisa begitu? Karena kita memang abai pada tugas sebagai rakyat yang baik. Kita lembek dalam berpolitik sebagai rakyat dan lebih sibuk memuja para politikus sehingga kita justru saling berpecah-belah. Sehingga yang terpilih justru politikus-politikus yang cuma hobi bikin janji dan hanya peduli soal rente. Mengapa bisa begitu? Barangkali karena shalat kita memang belum mampu membentuk karakter kita. Kita baru rutin mengerjakan shalat seperti kebiasaan kita buang sampah ke tempat sampah, tanpa peduli bahwa sampah kita hanya akan ditumpuk dan menjadi sumber bencana di masa depan. Pun demikian dengan shalat-shalat kita, kita hanya memamerkannya sebagai ritual tanpa menggalinya sebagai spirit perjuangan.
Jika terhadap sampah saja umat Islam abai, hingga lingkungan semakin terpuruk, jangan harap bisa memenangkan dan mendominasi kontestasi politik. Perilaku manusia terhadap sampahnya sendiri justru sangat jelas memperlihatkan karakternya secara keseluruhan. Nggak percaya? Buktikan saja.
Surakarta, 15 Mei 2019